AGAM, ALINIANEWS.COM – Suara langkah kaki di lorong sempit ruang detensi Kantor Imigrasi Agam berhenti di depan sebuah pintu besi.
Di baliknya, Nur Amira, 37 tahun, kembali merasakan dinginnya ruangan yang dulu sempat membawanya jauh dari rumah dan dari anak semata wayangnya, Zahira.
Sejak Jumat (19/9), perempuan yang sehari-hari bekerja di sebuah peternakan burung puyuh di Situjuah, Kecamatan Limo Nagari, Kabupaten 50 Kota, kembali ditahan.
Statusnya kini: tidak memiliki kewarganegaraan.
Dari Malaysia ke Payakumbuh, dan Hilangnya Identitas
Amira tak pernah menyangka kehidupannya akan sekompleks ini.
Kisahnya berawal pada tahun 1996, ketika ia yang masih berusia delapan tahun dibawa sang ibu dan ayah tirinya ke Indonesia dari Malaysia.
“Saya ke sini dulu itu dibawa oleh ibu saya bersama ayah tiri saya yang memang orang asli sini,”
ujar Nur Amira kepada wartawan Halbert Caniago yang melaporkan untuk BBC Indonesia, Rabu (01/10).
“Saat itu umur saya baru sekitar delapan tahun pada tahun 1996.”
Ayah tirinya, Martius, orang Payakumbuh. Ia membawa Amira dan ibunya, Nuraini, menetap di kota itu.
Amira mengaku dulu memiliki paspor dan akta kelahiran Malaysia, namun tidak tahu bahwa sebagai warga asing, ia harus melapor secara berkala ke imigrasi.
Tahun demi tahun berlalu. Saat berusia 17 tahun, Amira mendapatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) Indonesia setelah masuk ke dalam Kartu Keluarga ayah tirinya.
“Saya mendapatkan KTP itu pada tahun 2006. KTP itu saya dapatkan setelah saya masuk dalam Kartu Keluarga (KK) ayah tiri saya,” katanya.
Tanpa proses naturalisasi, Amira dan ibunya memperoleh Nomor Induk Kependudukan (NIK).
Ia bahkan ikut Pemilu sejak 2009 hingga 2019.
Amira menikah dengan pria asal Payakumbuh pada 2009 dan memiliki anak perempuan bernama Zahira.
Namun rumah tangga itu kandas pada 2015. Sejak itu, Amira membesarkan Zahira seorang diri.
Dideportasi, Lalu Kembali Tanpa Kewarganegaraan
Semua tampak berjalan biasa, hingga Oktober 2024, saat Amira dilaporkan ke Imigrasi Agam oleh seseorang yang menudingnya sebagai imigran gelap asal Malaysia.
Amira ditangkap dan dideportasi ke Malaysia pada 25 Oktober 2024, sementara ibunya lebih dulu dideportasi pada 12 Juni 2024.
Namun sesampainya di Malaysia, identitasnya menghilang.
“Kalau dari pernyataan pemerintah Malaysia saat saya melakukan pengurusan itu katanya memang ada yang memiliki data tersebut, tapi bukan saya,” ujar Amira.
“Semuanya sama. Hanya saja nama Noor Amira yang ada di data Malaysia itu fotonya bukan saya.”
Tanpa dokumen dan tempat berpijak, Amira menjadi “bayangan”.
Lima bulan kemudian, ia ditangkap oleh polisi pantai Malaysia karena dianggap pendatang gelap.
“Saya dibawa ke Kantor Polisi dan diperiksa,” tuturnya.
“Mereka tidak percaya dengan pernyataan saya dan menggeledah isi handphone saya. Di sana mereka menemukan gambar fotokopi KTP saya dan langsung menjebloskan saya ke penjara.”
Ia mendekam dua bulan di penjara Malaysia. Setelah sidang, pihak Imigrasi Malaysia mendeportasinya kembali ke Indonesia menggunakan Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP) dari KJRI Johor Bahru.
Kembali ke Indonesia, Kembali Ditahan
Amira tiba di Payakumbuh, kembali bekerja di peternakan burung puyuh, dan memeluk Zahira yang sempat kehilangan ibunya selama enam bulan.
Namun kedamaian itu tak bertahan lama.
Saat hendak memindahkan data kependudukan dari Payakumbuh ke Kabupaten 50 Kota, ia mendapati NIK-nya diblokir.
Disdukcapil menyuruhnya meminta surat keterangan WNI ke Imigrasi Agam.
Tapi harapan itu pupus ketika ia justru kembali ditahan.
“Saya kaget SPLP itu dicabut dan saya langsung ditahan di Imigrasi Agam ini dan langsung dimasukkan ke dalam ruangan detensi ini. Saya sangat tidak menyangka akan seperti ini,” katanya.
Air matanya menetes saat menceritakan ketakutannya.
“Saya hanya berharap saya bisa diizinkan tinggal di sini bersama anak saya. Karena anak saya masih membutuhkan sosok ibu. Ia tidak memiliki siapa-siapa lagi selain saya,” harapnya.
“Jangan Pisahkan Zahira dengan Mama”
Di rumah sederhana di kebun Situjuah, Zahira, 15 tahun, hanya bisa menatap kosong.
Ia dikenal cerdas dan berprestasi. Kini, ia tak lagi bersekolah sementara waktu.
“Guru Zahira mengizinkan untuk mengikuti ujian nanti saja saat permasalahan ini sudah selesai supaya Zahira bisa fokus dalam mengikuti ujian dan nilainya nanti tidak terpengaruh,” katanya.
Selain kehilangan semangat belajar, Zahira juga harus menggantikan pekerjaan ibunya: membersihkan kandang puyuh, mengarit rumput, dan menjaga rumah.
“Biasanya Zahira membantu bekerja di kafe saja. Tapi sekarang karena mama tidak bisa, Zahira berinisiatif melakukan semua pekerjaan mama,” tuturnya.
Dengan suara pelan, ia menahan tangis:
“Mama tidak pulang lagi dan tidak bisa bersama Zahira. Zahira sangat takut kehilangan mama lagi seperti tahun lalu.”
Zahira bangun setiap pukul 05.00 WIB untuk bekerja sebelum berangkat ke sekolah, meski pikirannya selalu kembali pada ibunya.
“Zahira sangat takut kalau mama dideportasi kembali dan meninggalkan Zahira lagi,” katanya.
Demi ibunya, Zahira menulis surat kepada Kepala Imigrasi Agam, berisi permohonan agar sang ibu tidak dideportasi.
“Karena hanya mama yang Zahira punya. Kalau mama dideportasi nanti Zahira tinggal sendiri,” tulisnya.
Surat itu ditembuskan ke Ombudsman Sumbar dan beredar luas di media sosial, membuat kisah Amira menjadi sorotan publik.
Fadhilla Putri, pemilik Dhila Farm tempat Amira bekerja, membantu mengadvokasi kasus ini bersama LBH Padang.
Kuasa hukum LBH, Elfin Mahendra, menjelaskan:
“Melihat peristiwa ini, ada beberapa peluang bagi kita. Pertama, klien kami ini memiliki keluarga di sini seperti anak dan dua saudara se-ibu. Kalau dilihat pada pasal 63 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011, saudaranya ini nanti akan bisa menjamin klien kami ini.”
Komnas HAM Sumbar juga turun tangan untuk memastikan tidak ada pelanggaran HAM terhadap Amira.
Pemerintah Bicara: Soal Prosedur dan Kewarganegaraan
Pihak Imigrasi Agam menyebut Amira bernama asli Noor Amira binti Ramli, lahir di Melaka, Malaysia, 28 September 1988.
Ayahnya, Ramli (Malaysia, meninggal 2012), dan ibunya, Nuraini (Singapura).
“Selama 28 tahun, Nur Amira tumbuh dan besar di Indonesia. Bahkan, ia mendapatkan KTP sejak 2006 dan KK Indonesia serta menikah secara resmi dengan pria Indonesia di Payakumbuh,”
kata Putu Agus Sugiarto, Kepala Seksi TIK Keimigrasian Kantor Imigrasi Agam.
Namun, karena Amira tak melalui proses kewarganegaraan resmi, KTP-nya diusulkan untuk dicabut.
“Kami mengusulkan pencabutan KTP tersebut karena yang bersangkutan tidak melalui tahapan-tahapan untuk menjadi WNI seperti yang telah diatur dalam Undang-undang nomor 12 tahun 2006,” ujarnya.
Pihak Disdukcapil Payakumbuh membenarkan hal itu.
Ali Imran, Kabid Adminduk, menjelaskan bahwa NIK Amira diblokir atas usulan imigrasi.
“Untuk menjadi WNI itu kan tidak semudah itu juga. Harus memiliki KITAS terlebih dahulu selama lima tahun dan KITAP selama 10 tahun,” katanya.
Meski begitu, Imran berharap agar aturan bisa diterapkan dengan pendekatan kemanusiaan.
“Kami harap hal ini juga bisa diberlakukan terhadap Nur Amira ini karena kita bisa mempertimbangkan dari segi kemanusiaannya. Anaknya masih kecil dan butuh sosok orang tua yang akan membimbingnya,” ujarnya.
Kini, Amira terjebak di antara dua batas:
Malaysia menganggapnya bukan warganya, Indonesia mencabut identitasnya. (*/BBC)