ALINIANEWS.COM (Jakarta) – Israel dan Hamas telah mencapai kesepakatan gencatan senjata yang ditunggu-tunggu banyak pihak, khususnya Gaza. Perjanjian ini akan berlaku mulai 19 Januari 2025 dan direncanakan berlangsung selama 42 hari. Kesepakatan ini terbagi dalam tiga fase penting: dimulainya dengan pembebasan sandera perempuan, anak-anak, dan lansia, serta penghentian serangan guna memfasilitasi pengiriman bantuan kemanusiaan.
Dilansir dari cnnindonesia.com, fase berikutnya berfokus pada pembebasan sandera pria oleh Hamas, yang akan ditukar dengan pembebasan tahanan Palestina di penjara Israel. Fase ketiga menyangkut pemulangan jenazah para sandera dan rekonstruksi Gaza yang hancur.
Ribuan warga Gaza merayakan kesepakatan ini dengan penuh harapan. Di Gaza City, mereka turun ke jalan, bersorak, berpelukan, dan bernyanyi, menyambut dimulainya gencatan senjata yang mereka harapkan dapat mengakhiri mimpi buruk yang sudah berlangsung lebih dari setahun.

Randa Sameeh, seorang pengungsi dari Kamp Nuseirat, mengatakan, “Saya tidak percaya bahwa mimpi buruk lebih dari setahun ini akhirnya akan segera berakhir. Kami kehilangan begitu banyak nyawa, kami telah kehilangan segalanya.”
Ia berencana mengunjungi makam keluarganya setelah gencatan senjata diberlakukan, memberikan penguburan layak bagi mereka yang telah tiada.
Di sisi lain, keluarga sandera di Israel juga merasa lega mendengar tentang perjanjian tersebut. Forum Sandera dan Keluarga Hilang mengungkapkan rasa syukur mereka terhadap upaya mediasi internasional yang memungkinkan tercapainya kesepakatan ini.
“Kami ingin mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada Presiden terpilih AS Donald Trump, Presiden Joe Biden, pemerintahan, dan mediator internasional karena membuat hal ini terwujud,” demikian pernyataan mereka.
Meskipun demikian, mereka menyuarakan kekhawatiran tentang implementasi gencatan senjata ini dan menyerukan pengaturan cepat untuk memastikan semua fase kesepakatan dilaksanakan.
Pemulihan Gaza pasca perang tetap menghadapi tantangan besar. PBB memperkirakan bahwa pemulihan infrastruktur yang hancur akibat perang sejak 7 Oktober 2023 akan membutuhkan waktu hingga 15 tahun dan biaya mencapai USD 50 miliar. Infrastruktur vital seperti jaringan distribusi air rusak parah, dan kelaparan melanda pengungsi yang tinggal di tenda.
Dikutip dari kumparan.com, sekitar 2,4 juta warga Gaza telah mengungsi setidaknya satu kali, dan sebagian besar anak-anak tidak bisa bersekolah.
Namun, tantangan politik juga tak kalah besar. Meskipun Hamas telah menguasai Gaza sejak 2006, mereka menyatakan tidak ingin memerintah Gaza setelah konflik ini selesai.
“Kami tidak berkeinginan kembali memimpin di Jalur Gaza,” ujar pejabat senior Hamas, Bassem Naim.
Untuk rekonstruksi, Otoritas Palestina (PA) diperkirakan akan kembali mengambil peran, meskipun masih ada ketergantungan pada bantuan internasional, terutama dari negara-negara Teluk.
Sementara itu, situasi pasca perang di Gaza juga dipengaruhi oleh sikap Israel yang enggan terlibat langsung dalam pemerintahan pasca-konflik.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant menegaskan bahwa Israel tidak ingin memerintah Gaza setelah perang, meskipun beberapa politisi sayap kanan menyerukan kembalinya para pemukim.
Gencatan senjata ini adalah langkah awal dalam proses yang panjang menuju perdamaian dan rekonstruksi. Namun, tantangan politik dan kemanusiaan yang dihadapi oleh Gaza dan Israel masih jauh dari selesai. (*/at)