JAKARTA, ALINIANEWS.COM – Wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, kembali memicu perdebatan di ruang publik dan parlemen. Sejumlah pihak menilai pengusulan tersebut perlu dikaji secara mendalam, sementara yang lain menilai Soeharto telah memenuhi syarat secara yuridis.
Wakil Ketua Komisi X DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, M. Esti Wijayati, menilai pemerintah harus berhati-hati dalam mengambil keputusan. Ia menyoroti potensi kontradiksi dengan nilai-nilai reformasi jika Soeharto benar-benar diberi gelar pahlawan nasional.
“Tentu ada beberapa hal yang perlu diverifikasi terlebih dahulu, bagaimana nanti nasib para reformis ketika kemudian beliau diberi gelar pahlawan nasional. Berarti dia melawan pahlawan nasional, ada kontradiksi yang tidak mungkin itu bisa selesai begitu saja,” kata Esti di Sekolah Partai PDIP, Lenteng Agung, Jakarta, Selasa (28/10/2025).

Menurutnya, kajian juga perlu mempertimbangkan keberadaan tokoh-tokoh korban pelanggaran HAM yang turut diusulkan dalam daftar pahlawan nasional tahun ini. “Kemudian mereka yang menjadi korban ini harus bersama-sama menerima gelar pahlawan, ini logikanya dari mana? Nah saya kira ini juga perlu diperjelas terlebih dahulu,” ujarnya.
Esti memastikan bahwa Fraksi PDIP di Komisi X DPR RI akan menindaklanjuti isu ini melalui mekanisme rapat resmi bersama pemerintah. “Ketika sudah diusulkan oleh Kementerian Sosial, nanti ada pembahasan dengan Kementerian Kebudayaan berkaitan dengan pemberian gelar-gelar itu,” pungkasnya.
Penolakan lebih tegas datang dari Ketua DPP PDIP, Ribka Tjiptaning. Ia menyebut rekam jejak Soeharto yang dinilai terlibat dalam pelanggaran HAM berat sebagai alasan utama penolakannya.
“Kalau pribadi, saya menolak keras. Apa sih hebatnya Soeharto itu sebagai pahlawan? Hanya bisa membunuh jutaan rakyat Indonesia,” tegas Ribka di Sekolah Partai PDIP, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Selasa (28/10/2025).
Ia menilai, sebelum ada pelurusan sejarah atas masa kelam Orde Baru, wacana pemberian gelar tersebut justru mencederai nilai-nilai kemanusiaan dan reformasi. “Udah lah, pelanggar HAM, membunuh jutaan rakyat. Belum ada pelurusan sejarah, nggak pantas dijadikan pahlawan nasional,” tandasnya.
Di sisi lain, mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Prof. Mahfud MD menilai Soeharto secara hukum memenuhi kriteria untuk diusulkan sebagai pahlawan nasional.
“Kalau secara yuridis formal kan memenuhi syarat,” kata Mahfud di kompleks Sasana Hinggil Dwi Abad, Alun-Alun Selatan, Yogyakarta, Minggu (26/10/2025).
Mahfud menilai, seluruh mantan presiden sejatinya tidak perlu lagi melewati proses penelitian ulang untuk mendapatkan gelar pahlawan nasional. “Saya pernah usul dahulu, semua mantan presiden enggak usah lagi pakai persyaratan untuk diteliti ulang. Sudah jadi presiden itu kan sudah pasti memenuhi syarat untuk jadi pahlawan. Namun, silakan saja, masyarakat nanti yang menilai,” ujarnya.
Kendati demikian, Mahfud menekankan bahwa aspek sosial dan politik tetap menjadi pertimbangan penting dalam proses pengusulan. “Kalau aturan-aturannya memang memenuhi syarat, tetapi politisnya bagaimana, ya sosiopolitisnya kan masyarakat yang menilai,” katanya.
Ia menjelaskan bahwa proses seleksi pengusulan gelar dilakukan secara ketat oleh tim khusus di Kementerian Sosial (Kemensos) dan dikoordinasikan dengan Kemenko Polhukam. “Biasanya ada tim khusus yang memverifikasi semua nama. Saat saya masih menjabat Menko Polhukam, kami menunggu usulan dari Kementerian Sosial dan lembaga terkait, lalu dibahas bersama sebelum disampaikan ke dewan,” tutur Mahfud.
Sebelumnya, Menteri Sosial Saifullah Yusuf telah menyerahkan daftar 40 tokoh yang diusulkan untuk menerima gelar pahlawan nasional kepada Menteri Kebudayaan sekaligus Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, Fadli Zon, di Kantor Kemenbud, Jakarta Pusat, Selasa (21/10/2025).
Dalam daftar tersebut, selain Soeharto, turut diusulkan nama Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur), aktivis buruh perempuan Marsinah, serta tokoh agama dan daerah seperti Syaikhona Muhammad Kholil dari Madura, KH Bisri Syansuri, KH Muhammad Yusuf Hasyim, dan dua jenderal purnawirawan M. Jusuf serta Ali Sadikin.
Proses pengusulan nama-nama tersebut berasal dari masyarakat melalui Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD), kemudian diseleksi oleh Tim Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) di Kemensos sebelum diajukan ke Dewan Gelar untuk penilaian akhir.
Kini, publik menantikan keputusan pemerintah apakah nama Soeharto dan tokoh-tokoh lainnya akan benar-benar disematkan gelar Pahlawan Nasional tahun ini keputusan yang diyakini akan membawa dampak besar bagi rekonsiliasi sejarah bangsa. (*/Rel)




