Oleh YURNALDI, Pemred alinianews.com. Pemenang pertama penulisan artikel antikorupsi tingkat nasional tahun 2016.
Koruptor terus berpesta, rakyat makin sengsara. UU Perampasan Aset yang bisa jadi palu godam pemberantasan korupsi malah terkatung-katung di DPR. Lalu, siapa yang sebenarnya takut pada kebenaran?
Presiden Prabowo Subianto sudah berulang kali menegaskan komitmennya: UU Perampasan Aset harus segera dibahas dan disahkan. Dalam salah satu pidatonya ia bahkan berucap tegas, “enak saja nyolong, enggak kembalikan, gue tarik aja itu.” Pesan ini sederhana, tetapi menyentuh inti persoalan bangsa: korupsi yang merampas hak rakyat.
Namun, setelah janji dan seruan itu, apa yang terjadi? DPR masih menunda. Alasannya menunggu RKUHAP selesai, seolah-olah regulasi lain lebih mendesak. Padahal publik tahu, alasan itu hanya formalitas. Pertanyaan besar yang bergema di ruang publik: apakah RUU ini ditakuti karena bisa jadi bumerang bagi para legislator dan elite politik sendiri?
Ketakutan yang Tak Tersembunyi
Korupsi bukan sekadar kejahatan finansial. Ia adalah pengkhianatan terhadap rakyat. Jika UU ini berlaku, maka logika hukum akan dibalik: negara berhak merampas aset hasil kejahatan meski pelakunya sudah meninggal, kabur, atau belum diputus bersalah di pengadilan.
Inilah yang membuat banyak pihak gelisah. UU ini mengincar hasil kejahatan, bukan sekadar pelaku. Artinya, istana megah, mobil mewah, atau rekening gendut yang tak jelas asal-usulnya bisa disapu bersih. Bagi para elite yang terbiasa menumpuk kekayaan dengan cara haram, UU ini adalah mimpi buruk.
Tak heran jika DPR seolah bermain tarik ulur. Sebagian anggota legislatif seakan lupa, mereka dipilih rakyat bukan untuk melindungi kepentingan sendiri, melainkan untuk memperkuat negara dari hama korupsi.
Harga Mahal dari Penundaan
Presiden boleh saja menggebu. KPK sudah menyatakan dukungan penuh. Tetapi tanpa komitmen DPR, UU ini akan terus terkatung-katung. Dan yang paling rugi adalah rakyat.
Bayangkan: menurut catatan lembaga antikorupsi, kerugian negara akibat korupsi mencapai puluhan triliun rupiah tiap tahun. Namun aset yang berhasil dikembalikan hanya secuil, sekitar Rp1 triliun. Selisih puluhan triliun itu adalah sekolah yang tak dibangun, rumah sakit yang tak berdiri, jalan yang tetap berlubang, dan subsidi yang tak sampai.
Jika RUU ini terus ditunda, maka janji kesejahteraan hanya akan menjadi kata-kata kosong.
Potensi dan Risiko
Benar, UU Perampasan Aset bukan tanpa risiko. Kewenangan besar bisa melahirkan penyalahgunaan. Tetapi itu bukan alasan untuk mengubur gagasan besar ini. Justru tantangannya adalah merancang mekanisme kontrol dan transparansi: siapa yang berhak merampas, bagaimana prosesnya diawasi, dan bagaimana masyarakat bisa ikut mengawasi.
Tanpa UU ini, korupsi akan terus menemukan jalannya. Dengan UU ini, korupsi memang bisa mencari modus baru, tetapi setidaknya negara punya alat yang lebih tajam untuk merebut kembali hak rakyat yang dirampas.
Kita tidak boleh lagi berlama-lama. RUU Perampasan Aset adalah ujian bagi Presiden, DPR, dan semua elite politik: apakah mereka sungguh-sungguh berpihak pada rakyat, atau sekadar pandai berpidato?
Menunda berarti mengkhianati amanat rakyat. Mengulur berarti memberi ruang koruptor terus berpesta.
Korupsi hanya akan berhenti jika negara berani menyentuh jantungnya — aset hasil kejahatan. Tanpa itu, kesejahteraan hanyalah fatamorgana.
Rakyat sedang menunggu. Sejarah sedang mencatat. Siapa yang berpihak pada bangsa, dan siapa yang sekadar berlindung di balik alasan hukum.
Padang, 2 September 2025.