JAKARTA, ALINIANEWS.COM – Mega proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau Whoosh kembali menuai sorotan tajam. Proyek yang sejak awal dijanjikan pemerintahan Presiden Joko Widodo akan murni berbasis bisnis tanpa membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), kini justru menjadi beban negara dan perusahaan pelat merah yang terlibat.
Tak hanya pembiayaan operasional, BUMN Indonesia juga dipaksa “patungan” menanggung utang jumbo kepada China. Sebagian besar dana KCJB bersumber dari pinjaman China Development Bank (CDB), sementara sisanya dari APBN dan modal konsorsium gabungan perusahaan Indonesia–China.
Proyek yang mulai dikerjakan sejak 2016 ini mengalami pembengkakan biaya (cost overrun) sebesar 1,2 miliar dolar AS, setara Rp 18,02 triliun. Berdasarkan hasil audit bersama kedua negara, total biaya pembangunan kini mencapai 7,27 miliar dolar AS atau sekitar Rp 108,14 triliun.
Rencana Restrukturisasi Utang
PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) maupun PT Kereta Api Indonesia (KAI) sebagai pemimpin konsorsium tak pernah merilis laporan keuangan KCIC ke publik.
Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) pun turun tangan. CEO BPI Danantara, Rosan Roeslani, mengatakan pihaknya tengah mengevaluasi restrukturisasi utang KCIC.
“Kita sedang evaluasi nih. Kita mau memastikan supaya ini bisa, kalau kita melakukan suatu corporate action itu tuntas. Jadi bukan hanya sifatnya menunda masalah,” ujar Rosan di Kemenko Perekonomian, Jakarta, Selasa (5/8/2025).
Rosan belum mau membeberkan detail langkah yang akan diambil.
“Nanti pada saatnya kita akan umumkan langkah-langkah kita dalam merestrukturisasi dari KCIC atau Whoosh ini,” imbuhnya.
COO BPI Danantara, Dony Oskaria, mengungkapkan sejumlah alternatif penyelesaian akan diusulkan kepada pemerintah.
“Memang kereta cepat ini sedang kita pikirkan, dan segera akan kita usulkan. Tapi solusinya masih ada beberapa alternatif yang akan kita sampaikan kepada pemerintah,” ujar Dony di Gedung DPR RI, 23 Juli 2025.
Ia menegaskan, restrukturisasi harus dilakukan menyeluruh tanpa mengganggu kinerja KAI.
“Kita ingin penyelesaian kali ini komprehensif dan tidak mengganggu kinerja Kereta Api Indonesia ke depan,” katanya.
Kerugian Jumbo WIKA
Operator KCJB, PT KCIC, adalah perusahaan patungan antara PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) yang menguasai 60% saham dan Beijing Yawan HSR Co. Ltd (40%). PSBI sendiri beranggotakan KAI (51,37%), PT Wijaya Karya/WIKA (39,12%), PT Jasa Marga (8,30%), dan PT Perkebunan Nusantara I (1,21%).
WIKA menjadi salah satu BUMN yang paling terpukul. Pada 2023, kerugiannya mencapai Rp 7,12 triliun melonjak drastis dari rugi Rp 59,59 miliar pada 2022. Kerugian itu bahkan lebih besar dari PT Waskita Karya yang rugi Rp 3,77 triliun di periode yang sama.
Direktur Utama WIKA, Agung Budi Waskito, menyebut dua faktor utama penyebab kerugian besar: beban bunga dan beban lain-lain.
“Beban lain-lain ini di antaranya mulai tahun 2022 kami sudah mencatat adanya kerugian dari PSBI atau kereta cepat,” kata Agung dalam Rapat Dengar Pendapat di DPR, Agustus 2024.
Agung mengungkapkan WIKA sudah menyetor modal Rp 6,1 triliun untuk proyek kereta cepat melalui PSBI. Masalahnya, dana itu berasal dari utang obligasi.
“Untuk memenuhi uang ini, mau tidak mau WIKA harus melakukan pinjaman melalui obligasi,” ungkapnya.
Laporan keuangan WIKA 2023 mencatat beban lain-lain naik 310,16% menjadi Rp 5,40 triliun dan beban keuangan meningkat 133,70% menjadi Rp 3,20 triliun.
Tudingan Jebakan Utang China
Ekonom dan Direktur Celios, Bhima Yudhistira, menilai proyek ini sudah masuk kategori debt trap atau jebakan utang China.
“Sudah masuk kategori jebakan utang. Pertama, indikasi proyek yang berbiaya mahal ditanggung APBN,” ujarnya.
Bhima mengingatkan bahwa sejak awal China menjanjikan proyek ini tidak akan membebani APBN. Faktanya, pemerintah Indonesia telah menggelontorkan dana negara, termasuk PMN ke KAI sebesar Rp 4,3 triliun (2021) dan Rp 3,4 triliun (2022) untuk menyelamatkan proyek dari risiko mangkrak.
Awalnya, struktur pembiayaan disepakati 75% dari pinjaman CDB dan 25% dari ekuitas konsorsium, tanpa jaminan pemerintah. Namun kesepakatan itu berubah, membuka peluang APBN ikut menanggung risiko utang.
Beban Konsorsium
Utang jumbo KCJB akan dibebankan ke KCIC sebagai operator sekaligus pemilik konsesi. Jika KCIC merugi, konsorsium termasuk BUMN Indonesia ikut menanggung renteng. Dari porsi 25% ekuitas, 60% berasal dari konsorsium Indonesia, artinya sekitar 15% pembiayaan proyek menjadi beban BUMN lokal.
Dengan situasi ini, restrukturisasi utang yang tengah disiapkan BPI Danantara akan menjadi penentu apakah proyek kebanggaan ini bisa keluar dari jeratan utang atau justru kian membebani negara dan BUMN yang terlibat.
(*/rel)