JAKARTA, ALINIANEWS.COM — Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali membuat langkah mengejutkan dalam kebijakan dagangnya. Gedung Putih mengumumkan potensi pemberlakuan tarif nol persen terhadap sejumlah barang dari empat negara di Asia Tenggara: Malaysia, Thailand, Kamboja, dan Vietnam.
Langkah ini menandai perubahan arah dari kebijakan tarif resiprokal sebelumnya, yang sempat menetapkan bea masuk 19 persen bagi tiga negara tersebut melalui Perintah Eksekutif 14346 tertanggal 5 September 2025. Dalam pembaruan pada Minggu (26/10/2025), Washington menyatakan tengah meninjau ulang daftar produk yang mungkin menerima tarif resiprokal nol persen, khusus bagi mitra sejajar (aligned partners).
Kebijakan baru itu sontak menjadi perhatian pelaku usaha di Indonesia, karena bisa menggeser peta ekspor di kawasan.

“Penyesuaian tarif resiprokal AS terhadap Malaysia, Vietnam, Thailand, dan Kamboja menunjukkan arah kebijakan dagang yang semakin selektif dan berbasis kepentingan strategis,” ujar Ketua Bidang Perdagangan Apindo Anne Patricia Sutanto, kepada Kontan.co.id, Selasa (28/10/2025).
Anne menilai langkah tersebut membuka babak baru dalam kompetisi ekspor antarnegara ASEAN, terutama di sektor padat karya. Ia mengingatkan, meski eksposur ekspor Indonesia ke AS hanya sekitar 10 persen dari total ekspor nasional setara US$26 miliar dari total US$238 miliar dampak sektoral bisa signifikan.
Sektor Padat Karya Terancam
Menurut Anne, industri yang paling berisiko adalah pakaian dan aksesori pakaian (rajutan), furnitur, serta alas kaki. Tiga sektor itu selama ini sangat bergantung pada pasar Amerika Serikat.
“Sekitar 61 persen ekspor pakaian rajutan Indonesia ditujukan ke AS. Untuk furnitur dan lampu, sekitar 59 persen, sementara olahan ikan, kulit, hingga mainan masing-masing di atas 40 persen,” jelas Anne.
Ia mengingatkan, jika Vietnam atau Kamboja mendapatkan preferensi tarif nol persen, maka risiko trade diversion atau pergeseran arus perdagangan akan semakin besar.
Eksportir Mulai Hitung Dampak
Nada serupa disampaikan oleh Ketua Umum Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Abdul Sobur dilansir dari Kompas.com. Ia menilai kebijakan tarif baru AS bisa menekan margin keuntungan eksportir Indonesia, terutama di sektor mebel dan kerajinan yang sensitif terhadap perubahan biaya logistik dan bea masuk.
“Produk Indonesia akan menghadapi handicap tariff tambahan yang menggerus daya saing harga. Buyer AS bisa beralih ke negara dengan tarif lebih rendah, atau menekan margin eksportir agar tetap kompetitif,” kata Sobur.
Ia menegaskan, tekanan harga semacam itu dapat memicu pergeseran pangsa pasar ke negara-negara yang lebih “tariff-friendly” di kawasan, seperti Vietnam dan Kamboja.

Malaysia dan Vietnam Sudah Bergerak Cepat
Malaysia menjadi negara pertama yang berhasil menegosiasikan ulang tarif dengan AS. Menurut Menteri Investasi, Perdagangan, dan Industri Malaysia Tengku Zafrul Aziz, tarif impor terhadap produk Malaysia turun dari 25 persen menjadi 19 persen, disertai pembebasan 1.711 pos tarif.
“Perjanjian ini membawa keringanan tarif dan peningkatan komitmen komersial yang menguntungkan Malaysia,” kata Zafrul dalam keterangan resmi, dikutip Reuters, Senin (27/10/2025).
Kesepakatan tersebut mencakup sektor utama seperti minyak sawit, produk karet, kayu, komponen penerbangan, dan farmasi, yang menyumbang sekitar 12 persen ekspor Malaysia ke AS.
Kementerian Luar Negeri Malaysia juga menyampaikan bahwa hubungan bilateral kedua negara kini naik tingkat menjadi kemitraan strategis komprehensif, usai pertemuan antara Trump dan Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim.
Sementara itu, Vietnam mempertahankan tarif 20 persen untuk sebagian besar produknya, tetapi memperoleh pengecualian bea masuk hingga 0 persen untuk beberapa komoditas. Sebagai imbal balik, Hanoi membuka akses preferensial bagi hampir seluruh produk asal AS.
Gedung Putih menyebut, kesepakatan dengan Vietnam menegaskan perdagangan yang “resiprokal, adil, dan seimbang.”
Para pelaku usaha menilai langkah AS ini bisa menjadi momentum bagi pemerintah Indonesia untuk melobi kebijakan tarif lebih adil, mengingat kompetisi antarnegara ASEAN semakin ketat.
“Kalau Indonesia terlambat merespons, kita bisa kehilangan pangsa ekspor strategis,” ujar Anne menegaskan.
Dengan dinamika perdagangan global yang makin dipengaruhi geopolitik, Indonesia perlu strategi baru untuk menjaga daya saing ekspor—sebelum semua “pintu tarif murah” di kawasan ditutup oleh negara tetangga. (*/Rel)


 
                                    

