JAKARTA, ALINIANEWS.COM – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menorehkan tinta hitam dalam kasus korupsi bantuan sosial (bansos) beras untuk Keluarga Penerima Manfaat (KPM) Program Keluarga Harapan (PKH) Tahun Anggaran 2020. Kali ini, giliran Edi Suharto, Staf Ahli Menteri Sosial Saifullah Yusuf sekaligus mantan Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial Kemensos, yang ditetapkan sebagai tersangka.
“Benar, yang bersangkutan merupakan salah satu pihak yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi pada penyaluran bansos beras PKH 2020,” kata Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, Kamis (2/10/2025).
Menurut Budi, dalam perkara ini KPK telah menetapkan tiga orang dan dua korporasi sebagai tersangka. Salah satunya adalah Bambang Rudijanto Tanoesoedibjo alias Rudy Tanoe, Komisaris Utama sekaligus Dirut PT DNR Logistics. “Salah satu tersangka lain sempat mengajukan praperadilan, dan hakim menolak permohonannya. Artinya, penetapan tersangka dilakukan sesuai prosedur hukum,” tegas Budi. KPK memperkirakan kerugian negara mencapai Rp200 miliar, meski jumlah pasti masih menunggu hasil penghitungan penyidik.
Sebagai bagian dari penyidikan, KPK juga mengeluarkan surat pencegahan bepergian ke luar negeri untuk empat pihak selama enam bulan. Mereka adalah Edi Suharto (ES), Bambang Rudijanto Tanoesoedibjo (BRT), Kanisius Jerry Tengker (KJT), dan Herry Tho (HT).
Berbeda dengan narasi KPK, Edi Suharto tampil di depan publik dengan pembelaan. Dalam konferensi pers di Acacia Hotel, Jakarta Pusat, ia menegaskan dirinya hanya menjalankan perintah langsung dari mantan Menteri Sosial, Juliari Batubara. “Awal mulai peristiwa ini dimulai dari Pak Juliari Batubara memanggil para pejabat Kemensos untuk mengikuti rapat pimpinan. Pak Juliari menyampaikan bahwa Kemensos akan menyalurkan bantuan beras Bulog bagi 10 juta keluarga miskin untuk mengurangi beban masalah sosial selama menghadapi pandemi COVID-19,” kata Edi.
Menurutnya, penugasan itu tidak sesuai dengan tupoksi Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial (Dayasos) yang ia pimpin kala itu. “Sebenarnya penugasan Pak Juliari ke Direktorat Dayasos ini tidak sesuai dengan tupoksi kami. Saya telah menyampaikan keberatan terhadap penugasan ini. Namun Pak Juliari tetap memaksa dengan alasan pembagian beban tugas,” ujarnya.
Edi bahkan mengaku menolak adanya transporter dalam distribusi bansos, namun Juliari bersikeras menunjuk pihak swasta. “Dari awal, sebenarnya saya tidak ingin ada transporter. Dayasos sampai dua kali bersurat ke Bulog agar sekaligus menjadi transporter. Tapi Pak Juliari tetap ingin ada transporter,” jelasnya. Salah satu perusahaan transporter adalah PT Dosni Roha Logistik (DNR Logistics), yang belakangan diketahui milik kolega Juliari. “Saya tanya ke Pak Juliari saat itu, DNR ini perusahaan apa? Jawab beliau, ‘DNR ini perusahaan milik teman saya’,” ucap Edi.
Ia juga menyinggung adanya intervensi Juliari lewat pesan singkat. “Pak Juliari lagi-lagi dalam pesan singkat melalui grup WhatsApp pimpinan Kemensos, memerintahkan agar aturan terkait pengiriman beras tidak dibuat terlalu berat. Intinya, perintah itu sangat menguntungkan transporter,” katanya. Dengan nada tegas, Edi menyebut seharusnya Juliari yang bertanggung jawab. “Yang seharusnya bertanggung jawab dalam kasus ini adalah Pak Juliari, bukan saya. Bukan saya, tapi Pak Juliari. Oleh karenanya, saya mohon keadilan yang seadil-adilnya,” ujarnya dengan suara bergetar.
Edi menekankan dirinya tidak pernah menerima keuntungan apa pun dari program bansos tersebut. “Saya tidak pernah menerima apa-apa. Saya tidak kaya raya sebagaimana orang yang melakukan korupsi. Saya juga tidak punya niat sedikit pun untuk memperkaya diri, apalagi orang lain,” tegasnya. Ia mengklaim hanya menjadi korban sistem yang dikondisikan oleh Juliari. “Sebagai ASN di Kementerian Sosial yang telah bekerja lebih dari 30 tahun, saya sudah berusaha menjaga integritas. Tapi Menteri Sosial saat itu telah terbukti mengkondisikan program ini,” ujarnya.
Kuasa hukumnya, Faizal Hafied, menguatkan pembelaan itu. “Edi Suharto hanya melaksanakan perintah jabatan yang jelas diberikan melalui surat tugas oleh menteri sosial saat itu. Jadi, beliau bekerja berdasarkan perintah resmi, bukan inisiatif pribadi,” katanya.
Sementara itu, Menteri Sosial Saifullah Yusuf (Gus Ipul) memastikan tugas-tugas di lingkungan Kemensos tetap berjalan. Ia menegaskan dirinya tidak menoleransi praktik korupsi. “Saya dengan Pak Wamensos (Agus Jabo Priyono) tidak menoleransi korupsi. Kalau ada pelanggaran, saya dan Pak Wamensos tidak segan-segan melaporkannya langsung ke penegak hukum,” tegasnya. Ia menekankan, setiap anggaran harus digunakan secara transparan dan tepat sasaran.
Kasus dugaan korupsi bansos ini sebenarnya bukan hal baru. Pada 2020, KPK sudah menyeret Juliari Batubara ke meja hijau dan menjatuhkan vonis. Namun, bayang-bayang praktik culas di balik distribusi bansos terus menghantui hingga kini, bahkan menyeret pejabat yang dulu hanya dianggap pelaksana tugas. Kini, Edi Suharto berada di pusaran hukum. Dengan air muka serius, ia kembali menegaskan, “Saya meyakini betul saya adalah pihak yang dikorbankan atas perintah jabatan. Saya mohon keadilan yang seadil-adilnya.” (*/REL)