Oleh YURNALDI, Wartawan Utama, sastrawan, Pemred Alinianews.com
Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang membuka opsi gaji guru didanai partisipasi masyarakat atau swasta adalah wacana yang layak disorot kritis. Di tengah konstitusi yang secara tegas menempatkan pendidikan sebagai kewajiban negara, ide ini seperti menyodorkan tiket keluar bagi pemerintah dari tanggung jawab utamanya.
Setiap tahun, pemerintah mengalokasikan 20 persen dari APBN untuk pendidikan—porsi yang tahun ini nilainya menembus ratusan triliun rupiah. Angka itu seharusnya cukup untuk memastikan gaji guru terbayar layak dan tepat waktu, serta meningkatkan kualitas pembelajaran. Jika wacana tambahan pendanaan dari publik muncul, pertanyaan yang tak terelakkan adalah: ke mana sebenarnya larinya dana pendidikan yang besar itu?
Di lapangan, guru honorer masih hidup di bawah standar kelayakan. Banyak sekolah kekurangan fasilitas, sementara pos belanja pendidikan sering habis untuk program birokratis, perjalanan dinas, atau pembangunan fisik yang tak langsung mengangkat kualitas belajar-mengajar. Transparansi anggaran masih menjadi barang mahal, dan publik jarang bisa melacak secara rinci aliran dana dari pusat hingga ke sekolah.
Opsi menggaji guru lewat partisipasi masyarakat berisiko memperlebar kesenjangan pendidikan. Daerah dengan PAD tinggi mungkin bisa mengimbangi, tetapi daerah miskin akan semakin tertinggal. Pendidikan yang seharusnya menjadi hak setara bagi semua anak bangsa bisa berubah menjadi layanan kelas sosial: lengkap untuk yang mampu, terbatas untuk yang lemah.
Daripada melontarkan wacana yang mereduksi peran negara, pemerintah seharusnya:
Pertama, melakukan audit transparan atas alokasi 20% dana pendidikan hingga level sekolah.
Kedua, memangkas belanja tidak langsung yang menggerus porsi gaji dan peningkatan kompetensi guru.
Ketiga. Memrioritaskan kesejahteraan guru honorer agar tak lagi menjadi masalah kronis.
Guru adalah pilar pendidikan. Menggaji mereka bukanlah beban yang bisa “digotong royongkan”, melainkan kewajiban negara yang tak bisa dinegosiasikan. Jika APBN yang besar masih belum mampu menjawab kebutuhan dasar ini, masalahnya bukan pada kurangnya dana—melainkan pada caranya dikelola.
Padang, 9 Agustus 2025.