ilustrasi pokir dan kursi DPRD
JAKARTA, ALINIANEWS.COM – Di atas kertas, Pokok Pikiran atau Pokir milik anggota DPRD adalah perpanjangan suara rakyat. Instrumen ini digadang-gadang menjadi jembatan antara aspirasi konstituen dan kebijakan anggaran pemerintah daerah. Namun dalam praktiknya, Pokir kerap berubah wajah: dari idealisme menjadi oportunisme, dari alat rakyat menjadi alat dagang kepentingan politik dan pribadi.
Banyak anggota dewan diduga mengarahkan Pokir bukan ke daerah pemilihannya, melainkan ke lokasi-lokasi yang telah “disepakati” dengan rekanan tertentu. Di titik ini, aspirasi menjadi tameng semata. Proyek-proyek yang muncul sering kali tidak melalui proses reses, tidak menjawab kebutuhan masyarakat setempat, dan bahkan tidak dikenal oleh warga. Yang lebih ironis, vendor atau pelaksana proyek justru sudah tahu lebih dulu jenis kegiatan dan besaran anggaran yang akan digelontorkan. Semua tampak rapi dalam dokumen, namun bisik-bisik di balik layar menyebutkan ada aliran fee, gratifikasi, hingga praktik suap yang mengiringi prosesnya.
Contoh paling gamblang datang dari kasus DPRD Kota Pekanbaru. Seorang anggota DPRD inisial “RP” memasukkan pokir senilai hampir Rp 1 miliar untuk pengadaan Video Tron melalui penunjukan langsung ke Diskominfo Pekanbaru. Anehnya, biaya riil proyek hanya sekitar Rp 200 juta untuk lima paket selisih yang kemudian muncul sebagai markup. Pelaksana proyek, Ajis, mengaku dipaksa membayar fee 30% yang diserahkan ke kepala dinas dan sang anggota DPRD Ini bukan sekadar dugaan, tapi telah berstatus penyelidikan aktif.
Di Kabupaten Jeneponto, Sulsel, Polres mendalami dugaan korupsi pokir 2019–2024: 35 pokir senilai Rp 5,005 miliar pada 2022 dan 8 pokir senilai Rp 1,268 miliar pada 2023. Disebut-sebut banyak proyek pembangunan sumur bor di kebun pribadi milik oknum legislatif, yang mestinya bukan prioritas publik Penyelidikan telah memanggil 10 anggota DPRD dan 4 OPD menandai skala praktik yang sistemik, bukan individu.
Di NTB, KPK mencium aliran dana pokir ke yayasan fiktif dan hibah tanpa dasar praktek fee, mark-up, bahkan ijon untuk proyek yang sama sekali tidak menyentuh aspirasi publik. Mereka juga mencatat bahwa dana pokir harusnya diselaraskan dengan RPJMD dan RKPD, tapi di sana ia justru dijadikan pintu masuk hibah ilegal yang dibungkus formalitas Skala provinsi juga tak lepas. Di Jawa Timur, KPK menetapkan empat anggota DPRD sebagai tersangka korupsi dana hibah pokir tahun anggaran 2021. Salah satunya, mantan Wakil Ketua DPRD Sahat Tua P. Simandjuntak, divonis 9 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar karena merugikan negara hingga Rp 39,5 miliar.
Praktik penyimpangan dana pokok pikiran (pokir) tidak hanya terjadi dalam bentuk proyek fisik atau pengadaan barang dan jasa, tetapi juga merambah ke kegiatan non-fisik seperti bimbingan teknis (bimtek) dan studi tiru. Sejumlah anggota DPRD diduga kerap memanfaatkan kegiatan ini bukan untuk peningkatan kapasitas, melainkan sebagai ajang pelesiran yang dibungkus program resmi. Dalam beberapa kasus, kegiatan bimtek dan studi tiru tersebut dijalankan dengan membawa serta anggota keluarga dan teman dekat, yang seluruh biayanya ditanggung oleh anggaran negara.
Oknum anggota DPRD juga diduga menerima “cashback” atau komisi dari pihak penyelenggara, seperti lembaga pelatihan, hotel, atau agen perjalanan, yang diajak bekerja sama dalam pelaksanaan kegiatan. Skema ini memperlihatkan bagaimana dana publik dimanfaatkan secara tidak akuntabel dan rawan konflik kepentingan, sementara manfaat substansial bagi masyarakat nyaris tidak terlihat.
Peraturan sebenarnya cukup jelas, Permendagri Nomor 86 Tahun 2017 menyatakan bahwa Pokir bukanlah dana hibah atau bansos, dan hanya boleh diusulkan berdasarkan hasil penjaringan aspirasi yang sah. Tapi di banyak daerah, prosedur ini hanya formalitas. Ada pokir yang disisipkan setelah KUA-PPAS disahkan, jelas melanggar prinsip perencanaan dan keterbukaan anggaran. Kegiatan yang diusulkan pun kerap tidak memiliki rincian, hanya berupa judul gelondongan, dan lebih buruk lagi dilaksanakan sendiri oleh anggota dewan, bukan oleh pejabat yang secara hukum bertanggung jawab.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah lama memberi peringatan soal ini. Pokir yang tidak sinkron dengan RPJMD dan RKPD, atau yang diinput ke sistem lalu diam-diam diubah saat pembahasan, merupakan titik rawan korupsi. Di balik prosedur administratif yang tampak legal, tersembunyi praktik manipulasi dan kolusi yang tersusun rapi.
Kerawanan makin parah ketika pengawasan lemah. APIP dan TAPD, yang seharusnya jadi pagar anggaran, sering kali tak berdaya atau malah ikut larut. Verifikasi hanya sebatas tanda tangan, audit tak menyentuh akar masalah, dan sistem informasi pemerintah daerah (SIPD) pun tak mampu menahan permainan “sulap data” yang dijalankan dengan kecepatan dan kecanggihan jaringan.
Fenomena seperti proyek drainase yang dibangun di wilayah yang bukan dapil si pengusul, atau pengaspalan jalan kecil yang kualitasnya buruk, kerap menjadi bahan tanya di masyarakat. Mengapa usulan mereka lewat Musrenbang tidak muncul, sementara proyek yang tak pernah mereka dengar justru muncul dalam bentuk fisik? Di titik ini, publik mulai menyadari ada yang tidak beres namun tak banyak yang berani bersuara lantang.
TITIK RAWAN KORUPSI AREA PERENCANAAN
- RKPD tidak sesuai dengan RPJMD (program yang mendadak).
- Rencana Kerja Tahunan tidak sesuai dengan RK Menengah (ada intervensi).
- Pokir yang diajukan tidak sesuai dg RKPD dan RPJMD.
- Pokir diinput dalam SIPD, namun dalam pembahasan KUA PPAS diubah.
- Pokir dilaksanakan sendiri oleh pengusul, bukan oleh PA/KPA.
- Pokir diminta besaran nilai pagu tertentu tanpa disertai rincian kebutuhan riil.
TITIK RAWAN KORUPSI AREA PENGANGGARAN
- Markup anggaran
- Penyalahgunaan penyaluran bantuan keuangan, hibah dan bansos
- Mark Up Perjalanan dinas atau fiktif.
- Penyalahgunaan anggaran honorarium
Semua ini tidak terjadi secara kebetulan. Pola ini lahir dari sistem yang lemah, pengawasan yang tumpul, dan budaya diam yang mengakar. Ketika kepentingan sudah mengunci satu sama lain, transparansi hanya tinggal slogan. Di atas kertas, Pokir adalah harapan rakyat. Tapi di lapangan, ia bisa berubah menjadi instrumen korupsi yang rapi, sunyi, dan mengakar.
Pertanyaannya kini, apakah suara-suara kecil yang mulai mempertanyakan bisa cukup keras untuk membongkar kebusukan yang bersembunyi di balik nama “aspirasi”? (*/chl)