spot_img
spot_img

Royalti Musik – Antara Perlindungan Karya dan Pemerasan Berkedok Aturan

Pentas musik rock di Pelataran Bagindo Aziz Chan yang digelar Pemko Padang, Sabtu lalu, sepi penonton. (Foto Yurnaldi/alinianews.com) 

Oleh YURNALDI, wartawan utama, peliput musik berbagai genre, Pemimpin Redaksi alinianews.com

Polemik royalti musik kembali membara, kali ini dipicu oleh pengalaman konsumen restoran yang harus membayar tambahan Rp29 ribu hanya karena di tempat itu diputarkan lagu. Angka ini terlihat kecil jika dilihat per orang, namun bila dikalikan seratus konsumen, sehari bisa menjadi jutaan rupiah. Pertanyaannya: apakah benar seluruh uang itu sampai ke kantong pencipta lagu? Fakta di lapangan menunjukkan tidak. Sejumlah musisi, termasuk Ari K, mengaku hanya menerima royalti beberapa ratus ribu rupiah setahun.

Iklan

Ini jelas ada yang salah. Di satu sisi, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta memberikan perlindungan dan mengatur kewajiban royalti untuk penggunaan komersial. Di sisi lain, logika penerapannya kerap absurd. Restoran, hotel, atau mal dipungut biaya berdasarkan asumsi penggunaan musik, bukan realitas distribusi yang adil kepada pencipta. Lebih parah, pengecualian yang ada dalam UU — misalnya untuk acara non-komersial atau penggunaan yang justru mempromosikan karya — sering diabaikan atau disalahtafsirkan.

IMG 20250813 145856

Yurnaldi

Hakim Mahkamah Konstitusi pun menyentil logika ini dengan satire: kalau aturan diterapkan secara kaku, ahli waris WR Supratman seharusnya jadi orang terkaya di negeri ini hanya karena lagu Indonesia Raya dinyanyikan setiap hari. Sentilan ini bukan sekadar candaan, tetapi cermin betapa konsep perlindungan hak cipta bisa berubah menjadi ironi ketika tak diimbangi dengan akal sehat.

BACA JUGA  Prabowo Ungkap Awal Mula Ide Makan Bergizi Gratis

Persoalan sebenarnya ada di dua titik: pengelolaan dan transparansi. Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) memungut biaya dari pelaku usaha, tetapi proses perhitungan dan distribusi kepada musisi sering gelap. Apakah dana royalti yang dikumpulkan benar-benar proporsional dibagikan kepada pencipta sesuai frekuensi karyanya diputar? Atau justru tersedot oleh biaya administrasi, gaji pegawai, dan sistem yang tumpul ke atas, tajam ke bawah?

Kita tidak boleh mengingkari hak moral dan ekonomi pencipta lagu. Namun, memeras pelaku usaha dan konsumen dengan beban biaya yang tidak jelas alurnya, sama saja mencoreng tujuan mulia perlindungan karya. Sistem ini perlu dibongkar, direvisi, dan diawasi ketat. LMK harus transparan dan diaudit secara berkala. Pemerintah dan DPR perlu mendengar keluhan pelaku usaha sekaligus memastikan musisi menerima royalti secara layak, bukan recehan.

Perlindungan karya seharusnya menjadi jembatan antara pencipta dan penikmat, bukan menjadi jurang yang memisahkan keduanya lewat pungutan yang membebani satu pihak dan tidak menyejahterakan pihak lainnya. Tanpa pembenahan, royalti musik hanya akan menjadi ladang empuk bagi segelintir orang, sementara pencipta tetap hidup dalam ironi: karya mereka diputar di mana-mana, tapi dompet mereka tetap kosong.

Padang, 14 Agustus 2025.

spot_img

Latest news

- Advertisement -spot_img

Berita Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses