ALINIANEWS.COM (Jakarta) – Rencana pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk membangun Sekolah Menengah Atas (SMA) Unggulan Garuda mendapat beragam tanggapan. Program ini disebut akan dimulai awal tahun 2025 dengan dukungan Instruksi Presiden (Inpres) dan Peraturan Presiden (Perpres).
“Untuk Sekolah Unggulan Garuda sudah diproses untuk bisa dimulai awal tahun 2025 ini. Dengan adanya nanti satu inpres dan perpres untuk alasan hukum agar Mendikti-Saintek dapat mengeksekusi terwujudnya SMA Unggulan Garuda,” ungkap Mendikti-Saintek Satryo Soemantri Brodjonegoro di Jakarta, Senin (30/12/2024), dikutip dari Kompas.com.
SMA Unggulan Garuda dirancang untuk siswa dengan kecerdasan tinggi, yang akan diarahkan melanjutkan pendidikan ke universitas bereputasi internasional.

“Keunggulan (di SMA Unggulan Garuda) adalah, satu, berasrama, boarding. Kemudian mereka dilatih untuk bisa masuk ke perguruan tinggi kelas dunia ke depan,” jelas Satryo.
Pemerintah menargetkan pembangunan 40 sekolah ini hingga tahun 2029, dimulai di Ibu Kota Nusantara, Nusa Tenggara Timur, Bangka Belitung, dan Sulawesi Utara. (Kompas.com, 30 Desember 2024).
Namun, kritik datang dari berbagai pihak. Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menilai program ini dapat memperburuk ketimpangan pendidikan.
“Ternyata warisan pemenuhan hak pendidikan dan mutu yang masih timpang ini diperparah dengan adanya rencana penerapan kebijakan sekolah unggulan dan sekolah rakyat,” ujarnya, Jumat (17/1). Ubaid mengingatkan bahwa langkah ini berpotensi melanggar amanat konstitusi terkait kesetaraan hak pendidikan, dilansir dari CNNIndonesia.com.
Selain SMA Unggulan Garuda, pemerintah juga akan membangun SMA Rakyat yang ditujukan untuk anak-anak dari keluarga tidak mampu.
“Presiden juga ingin membuat sekolah khusus untuk anak-anak yang tidak mampu, tetapi masih di bawah naungan orang tua, dibina langsung khusus dalam Sekolah Rakyat,” ujar Menko PM Muhaimin Iskandar di Istana Kepresidenan Bogor, Jumat (3/1/25).
Namun, konsep SMA Rakyat ini menuai kekhawatiran terkait potensi stigma sosial. Menurut Ubaid, penamaan sekolah khusus untuk anak miskin dapat menimbulkan labelisasi negatif.
“Stigmatisasi ini akan memperkuat stereotip dan bias yang merugikan, dan semakin memarjinalkan kelompok anak miskin yang sudah rentan,” jelasnya.
Di sisi lain, Jejen Musfah, pemerhati pendidikan dari UIN Jakarta, mengakui bahwa sekolah unggulan dapat membantu menyiapkan sumber daya manusia yang kompetitif di level dunia.
Namun, ia mengingatkan pentingnya mengintegrasikan kebutuhan lokal dan global, seperti penguasaan teknologi dan bahasa asing.
“Harus disiapkan visi sekolah yang berbasis kebutuhan lokal dan global. Penguasaan bahasa asing dan teknologi. AI dan coding,” kata Jejen, Kamis (16/1).
Rencana ini menjadi polemik di tengah upaya pemerintah meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Meski membuka peluang bagi siswa berbakat, kebijakan tersebut juga menghadirkan tantangan dalam menjamin kesetaraan dan menghindari kesenjangan pendidikan di masyarakat. (*/at)




