Membaca Dilema Anggaran Sumatera Barat di Tengah Penurunan Dana Transfer, Pokir DPRD, dan Pertumbuhan Ekonomi yang Melambat
Oleh: Zul Evi Astar
Mantan ASN
ALINIANEWS.COM – Tahun 2026 dibuka dengan kabar yang membuat dahi berkerut bagi para pengelola fiskal di Sumatera Barat. Dari meja Kementerian Keuangan, keluar angka resmi yang menyatakan bahwa alokasi Dana Transfer ke daerah ini menyusut tajam. Jika pada tahun 2025 Sumatera Barat masih menerima Rp3,28
triliun, maka di tahun 2026 hanya Rp2,75 triliun. Selisihnya mencapai Rp533,3 miliar, atau sekitar 16,24 persen. Bagi orang awam, angka setengah triliun mungkin terasa abstrak.
Tetapi bagi pemerintah daerah, angka itu berarti banyak. Ia berarti ada jalan yang tadinya akan diperbaiki tetapi harus ditunda. Ada sekolah yang tadinya ingin direnovasi, tetapi mesti antre lebih lama. Ada layanan kesehatan yang mungkin berjalan lebih terbatas karena dana operasional dipangkas. Jika dibedah lebih dalam, penurunan itu berasal dari pos-pos yang sangat menentukan. Dana Alokasi Umum (DAU) yang ditentukan penggunaannya anjlok hingga 81,7 persen. Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik menyusut lebih dari 90 persen. Dana Bagi Hasil (DBH), yang biasanya menjadi kompensasi atas pemanfaatan sumber daya alam daerah, juga terpangkas lebih dari separuh.
Sementara insentif fiskal yang pada 2025 masih ada, kini hilang sama sekali. Satu-satunya kabar baik datang dari DAK non-fisik, yang naik tipis 0,83 persen. Tetapi kenaikan itu tidak cukup berarti. Jika
dibandingkan dengan besarnya penurunan pos-pos lain, tambahan tersebut ibarat setetes air di tengah sumur yang mulai mengering. Kondisi ini membuat wajah APBD Sumatera Barat 2026 terlihat pucat. Ruang fiskal menyempit, padahal belanja wajib tidak bisa ditunda. Pendidikan harus tetap berjalan, kesehatan harus dilayani, aparatur harus tetap dibayar. Di sinilah ujian sebenarnya: bagaimana pemerintah daerah merespons krisis fiskal tanpa kehilangan keberpihakan pada rakyat?
Di sisi lain, hasil pembahasan Kebijakan Umum Anggaran – Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (KUA-PPAS APBD) Sumatera Barat Tahun 2026, yang baru minggu kemaren di paripurnakan menyepakati besaran Pendapatan Daerah Rp6,39 triliun dimana
belum dihitung didalamnya pengurangan akibat Dana Transfer yang menyusut sebesar Rp533,3 milyar. Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar Rp2,93 triliun. Angka ini cukup menggembirakan, karena
menunjukkan ada potensi kemandirian fiskal yang bisa terus digarap.
Namun, bila ditimbang, PAD sebesar itu tetap terasa berat jika harus menutup lubang akibat berkurangnya transfer pusat. Dalam kondisi ini, satu persoalan klasik kembali mengemuka: pokok-pokok pikiran (pokir) anggota DPRD Provinsi Sumatera Barat. Pokir bukan istilah asing. Ia adalah ruang aspirasi politik yang diberikan kepada anggota DPRD untuk menyalurkan kebutuhan masyarakat di daerah pemilihannya. Dalam praktiknya, pokir hadir dalam bentuk proyek-proyek kecil: perbaikan jalan lingkungan, pembangunan sarana ibadah, bantuan kelompok tani, renovasi balai pertemuan, dan berbagai kegiatan lain yang secara kasat mata terlihat “dekat” dengan masyarakat.
Di Sumatera Barat, dengan 65 anggota DPRD provinsi dari informasi yang diperoleh, alokasi pokir kurang lebih Rp7,5 miliar per orang untuk anggota yang berjumlah 61 orang, dan Rp10 miliar per orang untuk pimpinan sebanyak 4 orang. Jika dijumlahkan secara keseluruhan, maka total pokir mencapai Rp497,5 miliar. Angka ini cukup fantastis. Mari kita bandingkan dengan persoalan transfer pusat tadi. Pengurangan dana dari pusat Rp533,3 miliar. Total pokir Rp497,5 miliar. Secara matematis, terlihat pokir sedikit lebih kecil dari pada defisit akibat berkurangnya transfer. Akan tetapi jika seluruh pokir dialihkan untuk menutup defisit, maka defisit hanya tinggal sedikit lagi yaitu Rp35,8 miliar. Perbandingan sederhana ini membuka mata: persoalan fiskal Sumatera Barat bukan semata karena pusat mengurangi transfer, tetapi juga karena struktur belanja daerah masih memberi ruang besar pada kepentingan politik di DPRD.
Namun, tentu saja, persoalannya tidak sesederhana menghapus pokir. Kita tidak bisa menutup mata bahwa pokir adalah bagian dari mekanisme politik yang sah menurut undang-undang. Ia lahir dari
kewenangan DPRD dalam menyerap aspirasi masyarakat. Menghapus pokir secara sepihak akan menimbulkan resistensi besar dari DPRD, bahkan bisa membuat pembahasan APBD buntu.
Tetapi di sisi lain, kita juga tidak bisa menutup mata bahwa pokir dalam bentuknya sekarang seringkali lebih menekankan distribusi politik daripada kepentingan pembangunan jangka panjang. Proyek- proyek kecil yang terpecah di 65 daerah pemilihan memang memberi manfaat, tetapi sifatnya terbatas, tidak terintegrasi, dan sulit diukur efektivitasnya. Maka, pertanyaan besar pun muncul: dalam kondisi fiskal sulit seperti sekarang, siapa yang harus diselamatkan terlebih dahulu? Apakah 65 anggota DPRD dengan pokirnya, atau jutaan rakyat Sumatera Barat dengan layanan dasarnya?
Jawabannya, bila kita mau jujur, jelas: rakyatlah yang harus diselamatkan. Layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur ekonomi, dan gaji aparatur tidak bisa dikorbankan. Rakyat yang jumlahnya jutaan tentu lebih penting daripada kepentingan 65 orang anggota DPRD. Tetapi, jawaban ini tidak serta-merta bisa dijalankan, karena realitas politik tidak sesederhana itu. Di titik inilah diperlukan keberanian sekaligus kecerdikan pemerintah daerah. Keberanian untuk menegaskan bahwa prioritas utama APBD adalah rakyat, bukan kelompok kecil.
Kecerdikan untuk menemukan jalan tengah agar DPRD tetap merasa dihargai, tetapi pokir mereka tidak lagi menggerus ruang fiskal secara berlebihan. Solusi yang paling masuk akal bukanlah menghapus pokir, melainkan mereformulasinya. Pokir harus diubah dari proyek-proyek kecil yang terfragmentasi menjadi program tematik yang terintegrasi dengan prioritas pembangunan daerah. Bayangkan jika Rp497,5 miliar pokir itu dipusatkan untuk membiayai program-program strategis: perbaikan jalan, pembangunan sekolah, rehabilitasi irigasi pertanian, penguatan layanan kesehatan berbasis komunitas, atau program bantuan UMKM. Dengan cara ini, aspirasi DPRD tetap tersalurkan, tetapi manfaatnya jauh lebih luas dan lebih dirasakan rakyat. Lebih jauh lagi, momentum penurunan transfer pusat ini harus dijadikan peringatan.
Ketergantungan fiskal pada pusat adalah jebakan jangka panjang. Ketika pusat memutuskan mengurangi alokasi, daerah
hanya bisa mengeluh. Karena itu, pemerintah daerah perlu lebih serius menggarap potensi PAD. PAD Rp2,93 triliun harus dijadikan batu loncatan untuk memperkuat kemandirian fiskal. Caranya bisa melalui digitalisasi pajak, penertiban tunggakan pajak dan retribusi, penguatan basis pajak baru, serta kebijakan ekonomi yang mendorong investasi daerah. Bila PAD tumbuh stabil, maka guncangan akibat pengurangan transfer pusat tidak akan terlalu menyakitkan. Selain itu, hubungan politik dengan pusat juga harus diperkuat. Anggota DPR RI dari dapil Sumatera Barat harus dilibatkan lebih intensif untuk memperjuangkan program kementerian agar diarahkan ke daerah.
Dengan begitu, meskipun transfer formal berkurang, Sumatera Barat tetap bisa memperoleh aliran dana dari program-program sektoral yang dijalankan pemerintah pusat. Krisis fiskal ini seharusnya juga dibaca dalam konteks kinerja ekonomi Sumatera Barat yang tidak
menggembirakan. Data terbaru pertumbuhan ekonomi Q2 2025 menunjukkan bahwa Sumatera Barat
hanya mencatatkan pertumbuhan 3,94 persen. Posisi ini menempatkan Sumbar di peringkat 31 dari 38 provinsi di Indonesia, alias masuk 10 besar terbawah, sejajar dengan Papua, Maluku, dan Papua Barat Daya. Fakta ini memprihatinkan. Sebab Sumatera Barat memiliki basis ekonomi rakyat yang cukup kokoh:
UMKM yang tangguh, sektor perdagangan yang dinamis, dan posisi geografis yang strategis. Tetapi semua potensi itu tidak tercermin dalam data pertumbuhan. Sementara provinsi lain melesat di atas 6–7 persen, Sumbar hanya mampu tumbuh di bawah 4 persen. Jika tren ini dibiarkan, ada risiko serius bahwa pada 2026 posisi Sumbar bisa semakin melorot, bahkan menempati peringkat paling bawah dalam daftar pertumbuhan ekonomi provinsi. Ini berarti Sumbar menghadapi “jebakan ganda”: fiskalnya menyempit karena transfer pusat berkurang, ekonominya pun melemah karena pertumbuhan stagnan. Dalam situasi seperti ini, pokir DPRD yang bernilai Rp497,5 miliar menjadi semakin problematis.
Alih-alih mendorong pertumbuhan, pokir dalam bentuk proyek kecil yang terpecah hanya menghasilkan output jangka pendek dan jarang berkontribusi signifikan terhadap penguatan struktur ekonomi daerah. Bila pola ini terus dipertahankan, jangan heran bila Sumbar makin kehilangan daya saing dan kian terperosok ke peringkat paling bawah. Karena itu, kebijakan anggaran harus diorientasikan ulang. Belanja publik harus diarahkan ke sektor- sektor yang memberi efek pengganda besar: infrastruktur konektivitas, dukungan serius untuk UMKM, investasi pangan dan energi, serta layanan dasar yang meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Pokir, bila tetap dipertahankan, seharusnya ikut diarahkan ke program-program ini.
Anggota DPRD perlu menyadari bahwa legitimasi politik mereka justru akan lebih kuat bila aspirasi yang diperjuangkan terbukti mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat secara nyata. Krisis fiskal dan melambatnya pertumbuhan ekonomi harus dilihat sebagai dua sisi dari satu koin. Jika pokir dibiarkan menjadi prioritas utama, maka rakyatlah yang akan menanggung akibatnya: layanan publik melemah, infrastruktur terbengkalai, dan pertumbuhan ekonomi semakin stagnan.
Tetapi bila keberanian politik diambil dengan mereformulasi pokir, memperkuat PAD, dan mengarahkan belanja publik pada sektor-sektor produktif maka Sumbar masih punya peluang besar untuk membalik keadaan. Jangan sampai tahun 2026 dicatat dalam sejarah sebagai tahun ketika Sumatera Barat jatuh ke titik terendah, baik secara fiskal maupun ekonomi. Justru sebaliknya, tahun ini harus menjadi momentum untuk membuktikan bahwa Sumatera Barat mampu bangkit, beradaptasi, dan menata ulang prioritasnya.
Dengan begitu, Sumbar tidak hanya selamat dari krisis fiskal, tetapi juga kembali menanjak dalam peta pertumbuhan ekonomi nasional. Pada akhirnya, anggaran adalah cermin dari pilihan moral sebuah pemerintahan. Ia menunjukkan siapa yang diprioritaskan: rakyat banyak atau elite politik. Dalam kondisi fiskal yang sulit ini, pilihan itu harus tegas.
Menyelamatkan rakyat jauh lebih penting daripada mempertahankan kenyamanan politik segelintir orang. Pokir tidak perlu dihapus, tetapi harus diubah agar selaras dengan kepentingan rakyat. PAD harus terus digarap agar kemandirian fiskal meningkat. Hubungan dengan pusat harus diperkuat agar program kementerian tetap mengalir. Dengan semua langkah ini, Sumatera Barat bukan hanya mampu melewati krisis fiskal 2026, tetapi juga bisa melangkah menuju tata kelola yang lebih sehat, adil, dan berpihak pada rakyat. Dan pada akhirnya, inilah ukuran pemerintahan yang sejati: seberapa kuat ia menjaga rakyatnya di tengah badai, bukan seberapa pandai ia mengakomodasi kepentingan elit.