JAKARTA, ALINIANEWS.COM – Pemerintah terus mempercepat pengembangan industri bioetanol nasional menuju penerapan mandatori etanol 10 persen (E10) pada 2027. Program ini diharapkan menjadi tonggak kemandirian energi nasional sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil.
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid mengungkapkan bahwa pihaknya telah menyiapkan sekitar 240 ribu hektare lahan untuk penanaman bahan baku etanol, terutama singkong dan tebu.
“Mencar-mencar (tersebar) di sejumlah provinsi, sementara memang baru sekitar 240 ribu hektare yang tersedia dari target 1 juta hektare,” ujar Nusron saat ditemui di Kantor Kementerian PUPR, Rabu (29/10).

Menurut Nusron, lahan tersebut tersebar di 18 provinsi dan akan terus diperluas hingga mencapai target satu juta hektare. Ia menjelaskan, dukungan Kementerian ATR/BPN terhadap program swasembada energi dilakukan melalui dua langkah utama, yakni penyederhanaan tata ruang serta percepatan penyediaan lahan dan perizinan.
“Contohnya, dalam proyek food estate di Merauke, prosesnya sangat cepat,” tandasnya.
Sebelumnya, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menyatakan kesiapannya untuk menanam bahan baku etanol di lahan satu juta hektare, sembari menunggu koordinasi dengan Kementerian ATR/BPN.
“Etanol tergantung sahabat saya, Gus Nusron. Tanah ada, kita siap tanam,” ujar Amran dalam acara Town Hall 1 Tahun Kinerja Kemenko Pangan di Jakarta, Selasa (21/10).
Amran menegaskan, penanaman bahan baku akan difokuskan pada dua komoditas utama, yakni singkong dan tebu.
“Singkong disiapkan di lahan 1 juta hektare, tebu 500 ribu hektare. Dua komoditas ini bisa jadi etanol,” ujarnya.
Ia menambahkan, fleksibilitas harga menjadi salah satu keunggulan program ini. “Kalau harga gula naik, kita jual gula. Kalau harga etanol naik, kita jual etanol, seperti di Brasil,” ucapnya.
Sementara itu, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) melihat potensi besar sejumlah daerah untuk menjadi lokasi pendirian pabrik etanol, seperti Jawa Timur dan Merauke.
Plt Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin Putu Juli Ardika mengatakan, kedua daerah itu strategis karena dekat dengan sumber bahan baku.
“Yang paling potensial sekarang itu di Jawa Timur karena molasesnya banyak di sana. Nanti kalau di Merauke sudah terbangun, itu bisa jadi basis produksi juga,” jelasnya di Jakarta Selatan, Rabu (29/10).
Selain itu, daerah seperti Tegal (Jawa Tengah), Sumba (NTT), dan Sumatra Selatan juga dinilai layak menjadi sentra produksi. Di Sumatra Selatan, produktivitas tebu di lahan rawa bahkan disebut telah meningkat pesat.
“Sekarang bisa menghasilkan 100 ton per hektare dan rendemennya sudah naik dari 5,7 persen, mudah-mudahan bisa sampai 8 persen,” katanya.
Kemenperin juga menanggapi rencana PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III untuk membangun pabrik etanol di Gresik, Jawa Timur.
“Kalau basisnya dari tebu, tentu akan kami bahas bersama kementerian terkait. Jawa Timur memang salah satu daerah penghasil etanol utama,” ucap Putu.
Dari sisi bahan baku, Putu menyebut sagu dan singkong menjadi opsi paling ekonomis untuk diolah menjadi etanol. “Sagu itu yang paling murah, kedua cassava (singkong). Kalau jagung agak mahal,” jelasnya.
Selain memperkuat produksi dalam negeri, investor asing juga mulai melirik peluang ini. Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi/BKPM Todotua Pasaribu menyebut Toyota tertarik membangun pabrik etanol di Indonesia.
“Toyota salah satu yang tertarik, di luar itu ada beberapa lagi,” ungkap Todotua di Jakarta, dikutip dari Antara, Selasa (28/10).
Ia mengatakan, Toyota memiliki lini kendaraan yang sudah mampu menggunakan bioetanol hingga E100 atau bahan bakar dengan kandungan etanol 100 persen. Ketertarikan tersebut, menurutnya, didorong kebutuhan untuk memastikan ketersediaan bahan baku di dalam negeri.
“Maka, mereka juga serius untuk masuk ke pabrik etanol. Mudah-mudahan prosesnya lancar, bisa segera realisasi,” ujarnya.
Selain Toyota, Brasil juga menunjukkan minat untuk berinvestasi di sektor serupa. Namun, lokasi pembangunan pabrik masih dalam tahap pemetaan, dengan Lampung disebut-sebut sebagai salah satu kandidat kuat karena memiliki pasokan tebu, singkong, jagung, dan sorgum yang melimpah.
“Komoditasnya semua ada, sekarang tinggal bagaimana keseriusan kita masuk ke pabrik yang menghasilkan etanol dan menjalankan kebijakan E10,” kata Todotua.
Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menegaskan pemerintah akan memberikan insentif bagi perusahaan yang membangun pabrik etanol di Indonesia.
Untuk mencapai target E10 pada 2027, dibutuhkan bahan baku etanol sekitar 1,4 juta kiloliter (KL) per tahun.
“Rencana kami, kebutuhan etanol itu dipenuhi dari dalam negeri,” ujar Bahlil.
Ia menambahkan, pabrik etanol berbahan baku tebu kemungkinan besar akan dibangun di Merauke, Papua Selatan, sementara yang berbahan singkong masih dalam tahap pemetaan.
Dengan dukungan lintas kementerian dan minat kuat dari investor global, pemerintah berharap program bioetanol ini dapat menjadi lompatan strategis menuju kemandirian energi hijau nasional. (*/Rel)




