spot_img
spot_img

Pejabat Publik Harus Tahu Diri

Oleh MIKO KAMAL
Advokat dan Wakil Rektor III Univ. Islam Sumatera Barat

Jadi pejabat publik harus tahu diri. Tidak boleh seenaknya. Kurenahnya mesti serupa orang-orang Minang bijaksana tempo dulu: mandi di hilir-hilir, berkata di bawah-bawah. Berbuat jahat sekali jangan. Berbuat baik jangan pelit. Begitu benarlah harusnya.

Lagak di jalanan harus diatur. Pejabat publik boleh saja kaya berlindak. Segala ada: punya sawah dan tanah berpetak-petak, gedung bertingkat, motor dan mobil mewah, dan rumah banyak. Tapi, semua yang ada tidak elok dipamer-pamerkan di depan orang banyak.

Iklan

Sudah kaya sebelum jadi pejabat? Boleh saja. Tapi, ini bukan soal kaya atau miskin sebelum menjabat. Bukan pula soal bagaimana cara mendapatkan kekayaan itu. Ini tentang sensitifitas dan empati kepada rakyat banyak.

Pejabat publik harus punya rasa sensitifitas tingkat tinggi. Rakyat yang hidup susah banyak jumlahnya. Mereka harus paham itu. Bacalah data Badan Pusat Statistik (BPS). Tingkat kemiskinan pada bulan Maret 2025 tercatat 8,47% atau 23,85 juta orang (BPS, 25/7/2025).

Itu baru pakai ukuran BPS. Ukuran Bank Dunia jangan disebut lagi. Jumlah orang susah atau miskin di Indonesia tidak hanya banyak, tapi sangat banyak sekali (pakai kata sangat dan sekali). Kata Bank Dunia, melalui data yang mereka rilis bulan Juni lalu, sebanyak 68,3% penduduk Indonesia terkategori miskin. Jumlahnya sekitar 194,72 juta orang (Kompas.com, 26/7/2025).

Bagi orang miskin, mendapatkan uang Rp. 100.000 dalam sehari itu berat. Bahkan ada yang sudah sehari penuh berkeliling kota mengantarkan sewa, sorenya hanya bisa membawa uang ke rumah sekitar Rp. 50.000 saja.

Sebab itu, hiba benar hati mereka ketika ada wakil mereka di Senayan yang menyebut pendapatan Rp. 3.000.000 sehari itu kecil atau tidak ada nilainya. Tidak hanya berhiba hati. Mereka juga marah besar ketika ada wakil mereka yang lain memberikan cap tolol kepada rakyat. Sudahlah hidup susah, dibilang tolol lagi.

Kita paham, bagi anggota DPR kaya serupa Ahmad Sahroni, Uya Kuya, Eko Patrio, Nafa Urbach dan yang lainnya, uang Rp. 3.000.000 sehari tidak ada artinya. Sebab, pendapatan mereka sebagai artis, pengusaha atau apalah mungkin jauh lebih besar dari itu.

Tapi, sekali lagi, ini soal empati. Dengan berkata begitu, mereka tidak berempati kepada orang-orang miskin yang sebagian besar mereka wakili.

Terlepas dari ada yang membonceng atau tidak, akibat dari ketidaktahudirian Sahroni dan kawan-kawan yang sudah terjadi harus jadi pelajaran, bagi kita semua. Pejabat publik harus mengubah diri.

Mulut harus dijaga. Filternya harus ketat: menganga dulu sebelum berkata. Jaga setiap kata yang keluar jangan sampai menebarkan bau kakus. Hindari melagak-lagak di muka umum. Terbelipun mobil mahal serupa Alphard dan merek-merek mahal lainnya, janganlah dilagak-lagakkan juga di jalan raya.

Konten media sosial juga harus dikontrol. Jangan diumbar-umbar benar sesi makan-makan enak di restoran mahal atau hotel berbintang banyak. Misalnya begitu. Ingat jugalah rakyat miskin yang sedang berjuang keras mengumpulkan rupiah untuk membeli nasi bungkus sepuluh ribu untuk makan siang.

Jadi pejabat tahu diri itu harus. Tidak ada debat soal itu. Jika tidak berkenan, jangan jadi pejabat publik. Sesederhana itu.

Pdg, 1/9/2025

spot_img

Latest news

- Advertisement -spot_img

Berita Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses