SIDOARJO, ALINIANEWS.COM — Setelah hampir sepekan berjibaku di tengah puing beton dan reruntuhan besi, operasi pencarian dan evakuasi jenazah korban runtuhnya bangunan di Pondok Pesantren Al Khoziny, Sidoarjo, resmi dihentikan pada Selasa (7/10) pagi. Tim SAR gabungan memastikan tidak ada lagi korban yang tertimbun.
“Yang kami tutup terbatas dalam operasi pencarian dan pertolongan,” ujar Kepala Basarnas, Marsekal Madya TNI Mohammad Syafii, di lokasi kejadian, Selasa pagi.
Keputusan itu diambil setelah seluruh puing bangunan dibersihkan dan tidak ditemukan lagi jenazah baru maupun bagian tubuh lainnya. Deputi Bidang Penanganan Darurat BNPB Mayjen TNI Budi Irawan mengungkapkan, seluruh korban telah ditemukan meski datanya masih bersifat perkiraan.
“Alhamdulillah kita telah temukan seluruh jenazah yang hilang. Walaupun ini baru bersifat perkiraan,” kata Budi Irawan dalam jumpa pers virtual.
Hingga Selasa (7/10) pagi, tercatat 61 orang meninggal dunia dan tujuh bagian tubuh ditemukan. Tim DVI Mabes Polri kini bekerja mengidentifikasi seluruh jenazah di RS Bhayangkara Surabaya.
“Dari sana nanti diketahui jumlah dan identitas korban secara pasti,” ujar Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari.
Evakuasi Panjang di Tengah Puing dan Bahaya
Meski operasi utama telah dihentikan, tim SAR masih melakukan penyisiran di lokasi pembuangan puing untuk memastikan tidak ada jenazah tersisa.
Proses evakuasi sendiri berlangsung sangat sulit. “Tim harus mengangkat puing-puing reruntuhan, memotong rangka-rangka, baru kemudian bisa mengevakuasi korban dari timbunan material,” jelas Kepala Kantor SAR Kelas A Surabaya, Nanang Sigit.
Tim SAR bekerja 24 jam tanpa henti. Penggunaan alat berat sempat dihentikan sementara untuk memberi ruang petugas yang memotong besi dan mengangkat reruntuhan secara manual demi keselamatan.
Direktur Operasi Basarnas, Laksamana Pertama TNI Yudhi Bramantyo, menjelaskan proses pembongkaran puing dilakukan bertahap.
“Breaker excavator menghancurkan puing beton besar, lalu bucket excavator mengumpulkan dan memuat puing ke dump truck untuk dipindahkan,” ujarnya.
Ia menambahkan, pembongkaran sisi kanan bangunan dilakukan dengan pendampingan ahli dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) karena sebagian struktur masih menempel dengan bangunan di sampingnya.
“Apabila dipaksakan, maka dikhawatirkan dapat merusak atau justru memicu robohnya gedung di sebelahnya,” kata Abdul Muhari.
Dari Harapan Penyelamatan ke Evakuasi Jenazah
Di awal operasi, tim SAR sempat berpacu dengan waktu untuk mengejar golden time—periode 72 jam untuk menemukan korban dalam kondisi hidup.
“Kami sudah bisa mensuplai minuman, vitamin, bahkan infus kepada korban di dalam reruntuhan. Itu memungkinkan mereka bertahan lebih lama,” ungkap M. Syafeii, Kepala Basarnas.
Namun, harapan itu memudar setelah berbagai upaya pendeteksian tidak menunjukkan tanda kehidupan. Alat pencari panas tubuh dan pendeteksi gerakan tidak menemukan sinyal apa pun.
“Di tengah kesunyian itu mudah-mudahan ada kedengaran tanda-tanda kehidupan. Tetapi ternyata sampai pagi tidak ada,” ujar Kepala BNPB, Letjen TNI Suharyanto.
Akhirnya, pada Kamis (2/10), tim gabungan memutuskan menggunakan alat berat. “Tahap evakuasi pencarian dengan menggunakan alat-alat berat tentu risikonya ini tidak mempertimbangkan lagi apabila ada yang masih selamat. Tapi ini tetap hati-hati,” katanya.
Santri Ceritakan Detik-detik Bangunan Ambruk
Bangunan Ponpes Al Khoziny di Kabupaten Sidoarjo runtuh pada Senin (29/9) sekitar pukul 15.00 WIB, ketika para santri bersiap salat Asar.
“Awalnya ada truk ngecor, langsung full, enggak setengah dulu. Pas itu langsung jatuh,” tutur Muhammad Rijalul Qoib (13), santri asal Sampang yang selamat dari reruntuhan.
Ia mengaku mendengar suara batu jatuh sebelum bangunan ambruk. “Terus tambah lama, tambah banter suaranya. Saya mau lari, terus atap kena muka saya,” katanya.
Sofa, santri lainnya, juga mengaku sedang salat ketika musala roboh. “Ada yang tidak selamat, ada yang meninggal juga, ada yang terjepit,” ujarnya kepada Kompas.com.
Bangunan Diduga Tak Miliki IMB
Pengasuh Ponpes, KH R Abdus Salam Mujib, menyebut bangunan tersebut sudah dikerjakan selama sembilan hingga sepuluh bulan. Lantai bawah digunakan sebagai musala, sementara lantai atas direncanakan untuk aula kegiatan santri.
Namun, Bupati Sidoarjo Subandi mengungkapkan bahwa bangunan itu tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
“Perizinan belum ada. Saya lihat, saya tanyakan izin-izinnya semua enggak ada,” katanya kepada KompasTV.
Menurutnya, pondok pesantren kerap langsung membangun tanpa mengurus izin. “Mestinya sebelum dibangun izin-izin, termasuk IMB. Ini harusnya dikerjakan dulu agar konstruksi sesuai standar,” ujarnya.
Pakar teknik sipil ITS Surabaya, Mudji Irmawan, menilai bangunan tumbuh tanpa perencanaan yang matang menjadi penyebab utama robohnya gedung.
“Hubungan kolom dan baloknya tidak sempurna. Begitu ditambah lantai tiga, tambah tidak stabil. Akumulasi beban membuat struktur tidak mampu menahan tekanan, sehingga kolaps,” jelasnya.
Menteri Agama: Jangan Lagi Ada Pembangunan Tak Standar
Menteri Agama Nasaruddin Umar menegaskan bahwa peristiwa ini menjadi pelajaran besar bagi dunia pesantren.
“Jangan lagi ada yang seperti ini, agar pembangunannya memenuhi standar yang berlaku,” katanya di lokasi kejadian.
Ia berjanji akan mengatur ketentuan khusus agar pembangunan ponpes atau madrasah ke depan mengikuti standar konstruksi yang aman.
“Inilah mudah-mudahan menjadi pembelajaran buat kami,” ujarnya.
Tragedi yang Harus Jadi Cermin
Total korban dalam tragedi runtuhnya bangunan Ponpes Al Khoziny mencapai 140 orang. Dari jumlah itu, 104 orang selamat, 36 meninggal dunia, dan 7 bagian tubuh ditemukan.
Meski operasi SAR telah ditutup, luka dan trauma masih membekas di hati para santri, keluarga, dan warga sekitar.
Dari tumpukan puing itu, muncul satu pesan yang sama: pembangunan rumah ibadah dan lembaga pendidikan tak boleh lagi abai terhadap keselamatan dan izin konstruksi. (*/rel)