Langkah kaki menuju masjid (Freepik.com – Almuhtada.org
SOLOK, ALINIANEWS.COM — Pemerintah Kota Solok kembali menjadi sorotan setelah proyek pembangunan Masjid Sahara senilai hampir Rp4 miliar mengalami pemutusan kontrak. Dalam laporan hasil pemeriksaan yang dilakukan pada paket pekerjaan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR), ditemukan serangkaian persoalan serius yang merugikan keuangan daerah dan meruntuhkan kepercayaan publik terhadap tata kelola proyek pemerintah.
Pekerjaan konstruksi Masjid Sahara dilaksanakan oleh CV. MK berdasarkan kontrak tertanggal 31 Mei 2024 dengan nilai Rp3.999.869.469,78 dan masa pelaksanaan selama 180 hari kalender. Meski sempat dilakukan dua kali adendum terkait perubahan pekerjaan dan penambahan waktu pelaksanaan, serta adendum ketiga untuk pemberian kesempatan penyelesaian selama 50 hari, proyek ini tetap gagal dituntaskan. Hingga masa akhir kontrak pada 6 Desember 2024, penyedia tidak mampu memperpanjang jaminan pelaksanaan sebagaimana dipersyaratkan, memaksa Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) mengambil keputusan untuk memutus kontrak secara sepihak pada 10 Desember 2024.
Akibat pemutusan kontrak, jaminan uang muka sebesar Rp839.972.588,00 yang seharusnya dikembalikan belum disetor ke RKUD hingga 2 Mei 2025. Sementara itu, realisasi pembayaran sudah mencapai Rp1.979.935.387,00 meski bobot fisik proyek hanya 40,61%.
Data pencairan anggaran juga menunjukkan bahwa dari total pembayaran kepada penyedia senilai Rp1.979.935.387,00, bobot realisasi fisik pekerjaan saat pemutusan kontrak hanya mencapai 40,61%. Artinya, terdapat ketimpangan nyata antara uang yang dibayarkan dengan hasil pekerjaan di lapangan.
Pemeriksaan lanjutan mengungkap bahwa volume pekerjaan tidak sesuai dengan yang dibayarkan, hasil audit Inspektorat terhadap volume pekerjaan mengungkapkan kekurangan sebesar Rp58.329.735,65. Audit ini didasarkan pada permintaan perhitungan final yang diajukan PPK pada 16 Desember 2024. Dari hasil pemeriksaan lapangan yang dilaksanakan bersama tim teknis, konsultan, dan pengawas pada 13 April 2025, ditemukan adanya penyimpangan pada beberapa item pekerjaan, mutu beton yang digunakan bukan beton struktural tetapi mortar, ukuran kolom menyusut dari 13×13 cm menjadi 9×9 cm, metode pembesian tidak sesuai karena hanya menggunakan dua sisi bekisting, dan kolom praktis tidak terhubung dengan balok struktur.
Tak hanya volume, mutu pekerjaan juga menjadi sorotan. Uji Hammer Test dan Core Drill menunjukkan mutu beton plat lantai dua jauh di bawah standar teknis yang dipersyaratkan, yakni hanya fc’ 16,07 MPa dibanding standar minimum fc’ 21,7 MPa.
Kondisi ini memaksa pemerintah melakukan perkuatan struktur dengan memasang baja IWF di bawah plat eksisting. Estimasi biayanya mencapai Rp49.182.420,77. Selain itu, terdapat kelebihan pembayaran atas selisih mutu beton senilai Rp11.359.638,34 akibat penggunaan beton dengan mutu lebih rendah dari kontrak.
Rangkaian temuan ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan pengendalian pekerjaan oleh Dinas PUPR Kota Solok, baik dari sisi teknis maupun administrasi kontrak. Kegagalan penyedia dalam memenuhi kewajiban kontraktual sejak awal seharusnya dapat diantisipasi lebih dini oleh Pejabat Pembuat Komitmen dan tim pengelola teknis. Namun yang terjadi, pemerintah daerah justru menerima aset dengan volume dan mutu pekerjaan yang tidak sesuai, serta menanggung kerugian akibat jaminan yang tidak tertagih dan biaya perbaikan lanjutan.
Kondisi ini menjadikan proyek Masjid Sahara tidak dapat langsung dimanfaatkan masyarakat. Pemko Solok justru harus menanggung kerugian dalam bentuk aset yang tak sesuai. kegagalan ini mencerminkan lemahnya pengendalian internal oleh Dinas PUPR Kota Solok dan kurang optimalnya pengawasan PPK dan PPTK. Meski upaya penyedia untuk memperpanjang jaminan pelaksanaan sempat dilakukan, proses administrasi yang terlambat membuat seluruhnya berakhir sia-sia.
Proyek yang semula diharapkan menjadi rumah ibadah representatif bagi masyarakat Solok kini justru menyisakan potensi kerugian negara dan persoalan hukum. Sebuah ironi yang mencerminkan bahwa pengawasan proyek pemerintah, utamanya yang bersumber dari anggaran daerah, masih memerlukan reformasi serius dan sistem pengendalian yang lebih ketat. Temuan ini menjadi peringatan bahwa pengawasan terhadap proyek-proyek konstruksi harus diperketat, dan setiap pelanggaran administratif harus ditindak agar kejadian serupa tidak terus berulang. (SUMBER LHP BPK RI 2024)