ilustrasi impor beras
JAKARTA, ALINIANEWS.COM — Indonesia dan Vietnam segera menandatangani perjanjian pengiriman beras jangka panjang. Kesepakatan itu dihasilkan setelah pertemuan antara Presiden Prabowo Subianto dan Perdana Menteri Vietnam Pham Minh Chinh di sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS di Brasil, Selasa (8/7).
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menilai kerja sama ini bukan sekadar untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri lewat impor, melainkan membuka peluang bagi Indonesia dan Vietnam untuk menjajaki pasar ekspor beras bersama-sama.
“Bukan, maksudnya contoh nih kalau kita suatu hari Insya Allah ya, kelihatan stok kita lumayan besar. Nah, mungkin bisa jadi kita cari pasar bersama, ya kan negara mana itu kita tuju, kita ekspor ke mana gitu,” kata Amran saat ditemui di Gedung DPR RI, Jakarta Pusat, Kamis (10/7/2025).
Amran menambahkan, kolaborasi ekspor beras bisa dilakukan jika stok dalam negeri mencukupi, terutama untuk menjangkau negara-negara yang tengah membutuhkan.
“Kalau kita lebih, kita sama-sama mengekspor mungkin ya, pandangan saya kita ekspor ke negara yang butuh. Kolaborasi lah, itu sangat bagus,” jelas Amran.
Namun saat ditanya lebih lanjut soal teknis perjanjian dagang dengan Vietnam, Amran mengatakan hal itu merupakan wewenang Kementerian Perdagangan.
Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi mengatakan, keputusan Presiden Prabowo untuk menjalin kerja sama tersebut tentu telah melalui pertimbangan matang, termasuk memperhatikan kesejahteraan petani lokal.
“Tugas kita nih sebagai kepala lembaga, menteri dan lain-lain itu ikut perintah Presiden. Karena Pak Presiden udah memikirkan, pasti ada hubungan bilateral, pasti ada trade-off, pasti ada banyak hal. Tapi yang jelas Pak Presiden itu mementingkan petani Indonesia,” kata Arief saat ditemui di Gedung DPR RI, Jakarta Pusat, Kamis (10/7/2025).
Terkait arah kerja sama beras dengan Vietnam, Arief mengatakan pemerintah tetap menekankan penguatan produksi dalam negeri. Namun ia juga menekankan pentingnya kesiapsiagaan terhadap kondisi tak terduga.
“Kita nggak pernah tahu, kadang ada banjir, kadang ada gunung meletus, kadang El Nino, kadang La Nina. Di saat kondisi kayak gitu, terus nanti nyari-nyari beras susah disalahin lagi, kan enggak. Jadi kita kan nggak pernah tahu yang ke depan itu seperti apa. Tapi you have to prepare for the worst,” terang Arief.
“Pada saat kamu memanage sesuatu, kamu harus memikirkan yang terburuk. Kalau terburuk itu apa? Kalau misalnya udah bisa dari dalam negeri, kenapa nggak?” tambah dia.
Arief menyatakan ekspor beras bersama Vietnam bisa saja dilakukan, namun dengan syarat utama stok dalam negeri benar-benar aman. Produksi nasional tetap jadi prioritas utama.
Sementara itu, pemerintah Vietnam menyebut perjanjian ini sebagai upaya menjaga keberlanjutan ekspor beras mereka di tengah penurunan drastis volume ekspor ke Indonesia—tercatat turun 97% pada semester I 2025 menjadi hanya 19.000 metrik ton.
Melalui Kementerian Perdagangan Vietnam, Chinh telah menginstruksikan jajarannya untuk memperluas pasar bersama Indonesia.
Namun di tengah upaya memperkuat kerja sama regional, Indonesia menghadapi tantangan serius dari dalam negeri: alih fungsi lahan pertanian. Data Kementerian Pertanian mencatat sekitar 90.000 hingga 100.000 hektare lahan pertanian beralih fungsi setiap tahunnya, akibat urbanisasi, ekspansi industri, hingga perubahan tata ruang wilayah.
Faktor penyebab alih fungsi terbagi dua: langsung (mikro) dan tidak langsung (makro). Faktor langsung mencakup kondisi sosial ekonomi petani seperti pendapatan, pendidikan, harga tanah, dan lokasi. Sedangkan faktor tidak langsung melibatkan tekanan makro, seperti pertumbuhan penduduk, kebutuhan lahan industri, dan pembangunan infrastruktur.
Dampaknya sangat jelas: penurunan produksi pangan, hilangnya sumber penghidupan petani, serta terganggunya keseimbangan ekosistem nasional.
Di sisi lain, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat rekor impor beras tertinggi dalam tujuh tahun terakhir terjadi pada 2024, yakni sebesar 4,52 juta ton, naik 47,38% dibanding 2023 yang hanya 3,06 juta ton.
Mayoritas impor berasal dari:
Thailand: 1,36 juta ton (30,19%)
Vietnam: 1,25 juta ton (27,62%)
Myanmar: 831,38 ribu ton (18,40%)
Pakistan: 803,84 ribu ton (17,79%)
India: 246,59 ribu ton (5,46%)
Sebagian besar beras tersebut masuk dalam kategori beras setengah giling/giling utuh (HS 10063099) sebanyak 3,99 juta ton, dan broken rice sebanyak 510 ribu ton.
Meski kerja sama dengan Vietnam berpotensi strategis, tanpa pembenahan serius terhadap konversi lahan, Indonesia akan terus menghadapi risiko rawan pangan tak peduli seberapa besar perjanjian dagang yang diteken. (*/rel)