Drs. H. Marlis., M.M Ketua Umum BPI KPNPA Perwakilan Sumatera Barat (Dok: Istimewah)
Drs. H. Marlis, M.M. bukanlah nama yang asing di kancah politik Sumatera Barat. Ia pernah menduduki kursi DPRD Provinsi selama dua periode, sebuah posisi yang bagi sebagian orang adalah puncak karier. Namun bagi Marlis, kekuasaan bukanlah tujuan akhir.
Integritas dan akuntabilitas yang melekat pada namanya bukan lahir dari jalan yang lapang dan tanpa hambatan. Justru sebaliknya ia dibentuk oleh badai, diuji oleh kenyataan, dan dikeraskan oleh luka-luka hidup yang tak pernah dipamerkan.
Di balik wajah tenangnya, tersembunyi kisah penuh liku. Ia bukan sosok yang selalu menang mudah dalam hidup. Ada saat-saat di mana semuanya runtuh. Tapi dari situlah Marlis belajar satu hal penting: bukan siapa yang paling tinggi yang akan bertahan, melainkan siapa yang tahu caranya berdiri lagi, setiap kali jatuh.
Marlis bukan hanya seorang politisi. Ia adalah wirausahawan yang melihat peluang dalam krisis, membangun dari reruntuhan, dan memberi napas bagi masyarakat lewat ide dan kerja nyata. Ia melewati masa-masa sulit, termasuk saat mengalami kredit macet di bank setelah menyelesaikan masa jabatan pertamanya di DPRD. Masa itu menjadi titik balik atau mungkin lebih tepatnya, titik mulai dari seorang Marlis yang tak hanya bicara perubahan, tetapi menciptakannya dengan kedua tangan sendiri.
Ketika jabatan berakhir dan sorot lampu mulai meredup, banyak yang memilih diam atau menghilang. Tidak dengan Marlis. Ia justru melangkah ke arah yang tak biasa, membangun dari bawah, dari akar, dari tanah yang sama tempat rakyatnya berdiri. Keteguhan dan visinya menjadikan dirinya lebih dari sekadar mantan pejabat; ia menjelma menjadi pelaku perubahan, seseorang yang memahami bahwa pengabdian sejati tak perlu panggung besar, cukup niat yang jernih dan langkah yang terus bergerak.
Dan di situlah letak kekuatan Marlis, ia tidak hidup untuk dikenang sebagai pejabat, tetapi untuk terus bermanfaat, meski nama tak selalu disebut. Seperti akar pohon yang tak terlihat, tapi menopang kehidupan di atasnya.
Setelah purna tugas dari DPRD Sumatera Barat, Marlis tidak lantas kehilangan taring. Justru ketika lampu sidang dipadamkan dan mikrofon parlemen dimatikan, suaranya terdengar makin lantang di luar gedung. Ia tak memilih jalan sunyi layaknya mantan pejabat kebanyakan, ia memilih jalan pengawasan dan perlawanan.
Sebagai Ketua Umum BPI KPNPA RI Perwakilan Sumatera Barat, Marlis menjadikan lembaga itu bukan sekadar tempat bernaung, tapi medan bertarung. Di sanalah ia berdiri sebagai pengawas tajam, kritikus cermat, sekaligus alarm bagi siapa saja yang mencoba bermain-main dengan amanat publik.
Marlis membuktikan bahwa kekuasaan sejati tak selalu datang dari jabatan, tapi dari keberanian bersuara dan konsistensi menjaga integritas. Di luar sistem formal, ia tetap jadi penjaga nilai, menyisir ruang-ruang kebijakan yang rawan dimanipulasi, dan mengingatkan mereka yang duduk di kursi kekuasaan: bahwa rakyat selalu mengawasi.
Tak sedikit para pejabat, dalam tanda kutip, mulai menjaga jarak. Bukan karena benci, tapi karena tahu Marlis bukan sosok yang bisa dibungkam oleh basa-basi kekuasaan. Namanya bukan lagi hanya disebut dalam ruang sidang, tapi juga dalam ruang-ruang ketakutan para pemegang jabatan yang lalai. Bagi mereka yang khilaf, Marlis adalah suara rakyat yang menyamar menjadi sosok bersahaja.
Marlis tidak berhenti sebagai pengkritik. Ia tahu, mengkritik saja tidak cukup. Maka ia mendirikan Problem Solving Indonesia, sebuah lembaga yang mengedepankan penyelesaian, bukan sekadar sorotan. Melalui lembaga ini, ia dan timnya mendampingi pemerintah daerah, OPD, hingga pelaku usaha dalam menemukan solusi atas konflik, tumpang tindih regulasi, atau kebuntuan kebijakan.
Di saat banyak pengawas sibuk mencari kesalahan, Marlis hadir sebagai penunjuk jalan keluar. Ia menyadari, musuh sesungguhnya bukanlah pemerintah atau pejabat, melainkan ketidakmampuan sistem menjawab realita di lapangan. Maka Marlis tidak hanya jadi “alarm”, tetapi juga “engineer” perubahan.
Dari Macet ke Akselerasi
Usai menjalani periode keduanya sebagai anggota DPRD Sumbar, Marlis menghadapi pukulan telak, bukan keuntungan yang didapatkan oleh orang yang pernah menjadi anggota DPRD dua periode itu, ia mendapati dirinya mengalami kredit macet di sebuah bank. Banyak orang mungkin menyerah. Tapi tidak dengan pria ini. Ia tahu bahwa kekalahan bukan akhir, selama seseorang belum berhenti mencoba.
Dengan tekad bulat, Marlis mulai merintis kembali berbagai peluang yang bisa mendekatkan masyarakat kepada solusi terutama saat bangsa ini terpuruk karena pandemi COVID-19.
Bagi Drs. H. Marlis, M.M., duduk di kursi legislatif bukanlah perkara mengejar jabatan atau pemasukan. Sejak awal, ia memiliki pandangan yang tegas dan berbeda terhadap dunia politik, terutama peran sebagai anggota DPRD. “Anggota DPRD bukan sebuah profesi menjadi peluang pendapatan,” ujarnya lugas. Baginya, menjadi wakil rakyat adalah amanah yang menuntut kesiapan mental dan ekonomi, bukan ruang untuk mencari penghidupan.”berpikirlah sebelum masuk ke dprd, jadilah orang yang mapan secara ekonomi baru masuk ke dalam tersebut”.
Marlis bahkan menegaskan, siapa pun yang ingin masuk ke dunia legislatif seharusnya sudah memiliki kemandirian secara ekonomi. “Berpikirlah sebelum masuk ke DPRD, jadilah orang yang mapan secara ekonomi baru masuk ke dalam tersebut,” tuturnya. Sebab, ketika seseorang menganggap DPRD sebagai pekerjaan utama demi mengisi kebutuhan pribadi, maka batas antara pelayanan publik dan kepentingan pribadi menjadi kabur.
“DPRD bukan pekerjaan, tetapi itu pengabdian. Jika anggota dewan menganggap itu pekerjaan, di sana tergadai marwahnya,” katanya tanpa ragu. Ia menyayangkan maraknya praktik yang menyimpang dari nilai dasar pengabdian, mulai dari permainan di dana pokok pikiran (pokir), manipulasi perjalanan dinas, hingga tekanan terhadap Organisasi Perangkat Daerah (OPD) untuk kepentingan pribadi. “Di situ banyak anggota dewan yang bermain pokir, perjalanan dinas, memintak ke OPD,” tegasnya.
Bagi Marlis, akar dari penyimpangan ini sangat nyata dan sederhana: kemiskinan mental. “Perut lapar maka otak tidak bekerja, maka maling pun bukan dianggap tabu bagi orang,” ucapnya. Ketika seseorang masuk ke DPRD tanpa kesiapan finansial dan moral, bukan mustahil mereka akan terjebak dalam godaan sistem yang memungkinkan penyalahgunaan kekuasaan.
Sayangnya, fenomena ini bukan lagi sekadar dugaan. Kenyataan di lapangan membuktikan banyak anggota dewan yang gagal menjaga peran dan eksistensinya. Alih-alih menjadi tokoh yang membawa aspirasi rakyat, mereka justru tenggelam dalam pusaran kompromi dan kehilangan integritas. Banyak di antara mereka yang sebelumnya tampak menonjol di awal masa jabatan, kini menghilang dari ruang publik tanpa jejak tak lagi terdengar, tak lagi memimpin.
Dalam refleksi itu, Marlis bukan sekadar mengkritik. Ia bicara dari pengalaman pribadi seseorang yang pernah menjalani dua periode sebagai anggota DPRD dengan tanpa kehilangan arah pengabdian. Justru dari luar sistem, ia membangun lebih banyak: peternakan, sektor kesehatan, pendidikan, hingga wisata. Dan ia percaya, pengabdian sejati tidak selalu butuh jabatan yang dibutuhkan adalah keberanian untuk tetap waras di tengah sistem yang mudah melupakan arah.
Membaca Peluang di Tengah Pandemi
Ketika COVID-19 melanda, hampir semua lini bisnis dan politik ikut terguncang. Tapi Marlis justru melihat krisis sebagai peluang. Ia melihat satu kebutuhan dasar masyarakat yang belum terjangkau dengan baik: akses ke rapid test. Berbekal jejaring dan semangat sosial, ia mendirikan layanan rapid test yang menjangkau hingga 56 titik di seluruh Indonesia, sebuah langkah besar yang tidak hanya bersifat bisnis, tetapi juga pengabdian.
Marlis yang bukan seorang yang memiliki latarbelakang kesehatan itu akhirnya berhasil membangun usahanya di kesehatan, memberikan lapangan pekerjaan bagi mereka yang lulus pendidikan di dunia kesehatan, sesuatu yang tidak pernah dipikirkannya dalam hidup, akhirnya membawa marlis melangkah jauh ke depan hingga membuka banyak usaha lainnya dengan menggunakan nama Alinia.
Tidak semua orang mampu melihat cahaya kecil di tengah gelapnya malam. Bagi kebanyakan orang, kegelapan adalah tanda akhir. Tapi tidak bagi Marlis. Di saat dunia terhuyung-huyung dilanda pandemi COVID-19, ia justru melihat nyala kecil di kejauhan, sebuah cahaya yang bagi sebagian tampak redup, tapi baginya cukup terang untuk menjadi arah langkah.
Di tengah kepanikan global dan ketidakpastian ekonomi, Marlis menangkap sesuatu yang tidak semua orang lihat: peluang. Ketika banyak orang fokus pada krisis, ia fokus pada kebutuhan. Ketika banyak yang memilih diam, ia bergerak. Sebuah tindakan sederhana namun krusial, membuka layanan rapid test, membawanya menembus 56 titik di seluruh Indonesia. Bukan sekadar bisnis, tapi gerakan kemanusiaan yang menjawab kebutuhan paling dasar masyarakat saat itu: kepastian dan perlindungan.
Yang membuat kisah ini semakin menarik, Marlis bukanlah lulusan sekolah bisnis. Ia tidak pernah duduk di bangku kuliah manajemen, apalagi mengikuti pendidikan kewirausahaan formal. “Saya tidak pernah belajar bisnis secara akademik. Tapi saya dilatih oleh alam, oleh penderitaan hidup saya sendiri,” ungkapnya dalam suatu kesempatan. Kesulitan hidup telah menjadi universitas paling jujur baginya. Alam adalah ruang kuliah, dan pengalaman adalah dosen terbaik. Dari situ, ia belajar merintis, merugi, bangkit, hingga mengelola usaha yang kini memberi manfaat luas bagi masyarakat.
Transformasi Marlis tak berhenti di situ. Ia kini juga membagikan pengalaman hidup dan wawasannya sebagai dosen praktisi di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Negeri Padang (UNP). Status ini bukan sekadar gelar kehormatan. Ia hadir di ruang kelas, berdiri di depan mahasiswa, menyampaikan bukan teori yang kering, tapi kisah nyata bagaimana membangun bisnis dari titik nol, bagaimana jatuh tanpa malu, dan bagaimana bangkit tanpa banyak suara.
Di tengah gelapnya malam krisis, Marlis adalah salah satu dari sedikit orang yang percaya pada cahaya. Bukan cahaya besar yang membutakan, tapi nyala kecil yang cukup untuk menuntun langkah, nyala yang ia pelihara dengan tekad, dibesarkan dengan kerja keras, dan kini ia bagi untuk menerangi jalan orang lain.
Membangun dari Akar: Peternakan dan Pariwisata
Tak lama setelah itu, Marlis melangkah lebih jauh. Ia mendirikan sebuah peternakan ayam modern dengan kapasitas 50.000 ekor. Di tengah naik-turunnya harga pakan dan risiko penyakit ternak, Marlis memilih jalur yang tak banyak ditempuh oleh para politisi: mengotori tangan di lapangan, memberi contoh bahwa kemandirian pangan bisa dirintis dari desa. ia mendirikannya di sebuah Nagari Sitiung, kabupaten Dharmasraya. Lokasi yang sejatinya tidak pernah terpikirkan olehnya untuk berinvestasi dan membangun usaha.
pak gusmal mantan bupati solok memberikan inspirasi kepada marlis untuk mendirikan peternakan ayam modern, kunjungan ke peternakan gusmal, memberikan inspirasi bagi marlis, naluri bisnisnya membuatnya mendirikan peternakan dengna perternakan ayam dengan konstruksi baja, teknologi pada peternakan langsung di impor dari luar negeri yang terkelola dengan otomatis.
Dari dunia ternak, ia merambah ke dunia wisata. Di bawah payung usaha “Alinia”, ia membangun Alinia Park & Resort, sebuah kawasan wisata terpadu yang menyajikan keindahan alam, edukasi, dan kenyamanan. Tempat itu bukan hanya tentang pemandangan, tetapi juga tentang mimpi, mimpi bahwa pariwisata bisa menjadi tulang punggung ekonomi lokal yang berkelanjutan.
Alinia: Gerakan, Bukan Sekadar Merek
perjalanan waktu, tempat yang awalnya hutan dan tempat berburu baru di sulap dengan waktu relatif cepat, berubah menjadi kawasan peternatakan dan wisata terunik dan terlengkap yang di namakan dengan alinia park and resot dengan tagline destinasi wisata terlengkap dan terunik di sumatera. ada 39 jenis wahana yang tersedia di alinia park and resot, teruniknya ada peternakan ayam di tengah destinasi wisata, cuaca panas, tidak ada pemandangan alam, jauh dari ibu kota provinsi.
Tak sekadar menjadi nama dari sebuah kawasan wisata, Alinia kini tumbuh menjadi sebuah identitas yang merepresentasikan inovasi dan transformasi sosial. Di baliknya, berdiri sosok Drs. H. Marlis, M.M., yang melihat usaha bukan hanya sebagai sarana ekonomi, melainkan juga sebagai ruang untuk menciptakan dampak nyata bagi masyarakat.
Visi inilah yang kemudian melahirkan berbagai unit di bawah Alinia Group hari ini tidak hanya pariwisata saja, tapi ada 9 jenis usaha yang berdiri di kawasan nagari sitiung, Kabupaten Dharmasraya :
ALINIA GROUP
1. DISTRIBUTOR ALAT KESEHATAN & OFFICE EQUIPMENT
– PT. Citra Alinia Medikatama
– PT. Alinia Jelajah Nusantara
– Hagia Medika
2. PARIWISATA & KULINER
– Alinia Park & Resort ( PT. Amreta Alinia Wisata )
– Manasik Haji ( KBIHU Alinia )
– Travel Haji & Umroh
– Katagiaan Resto ( PT. Alinia Entrepreneur Center )
– Restoran D’Besto Koto Baru
– Hotel ( Alinia Guest House )
– Bus Pariwisata
– SPPG BGN
3. PENDIDIKAN
– Sekolah Alam Alinia Islamic School ( Yayasan Alinia Entrepreneur Indonesia )
– Kampung Inggris Alinia
– Lembaga Pelatihan Keterampilan ( LPK )
– Pelatihan Tenaga Kerja ke Jepang
– ALINIA INSTITUTE
4. ENERGI
– Agen LPG 3 kg ( PT. Asanta Alinia Energi – Dharmasraya )
– Agen LPG 3kg ( PT. Ragayu Jagad Persada – Padang )
5. PETERNAKAN
– Alinia Farm ( PT. Kaharsa Alinia Satwa )
6. KONSULTAN & HUKUM
– Alinia Law Firm
– Problem Solving Services ( PT. Problem Solver Indonesia )
7. MEDIA
– AliniaNews.com
– bpisumbar.com
– Podcast ( Alinia Channel )
8. ON LINE SHOP
– Alinia Official Store
kini yang terbaru dan mencolok yaitu adanya kampung Inggris Alinia, terletak di dalam kawasan Alinia Park and Resort, Kampung Inggris Alinia menawarkan pendekatan pembelajaran bahasa Inggris yang jauh dari kesan kaku dan membosankan. Marlis mendesain tempat ini sebagai sebuah ekosistem pembelajaran terbuka yang menyatu dengan alam. Udara segar, pepohonan rindang, serta lanskap yang mendukung kenyamanan, menjadi latar belajar yang membuat peserta betah dan termotivasi. Tak ada batasan usia atau latar belakang; siapa saja baik pelajar, mahasiswa, hingga pencari kerja bisa merasakan manfaatnya.
Program yang ditawarkan dirancang dalam format bootcamp intensif, di mana peserta tidak hanya duduk mendengarkan materi, tetapi aktif terlibat dalam praktik berbicara, diskusi, dan berbagai aktivitas berbahasa Inggris. Atmosfer lingkungan juga ikut mendukung keberhasilan proses belajar. Seluruh staf yang bertugas di area Kampung Inggris didorong untuk menggunakan bahasa Inggris dalam interaksi sehari-hari. Hal ini menciptakan suasana yang konsisten, di mana penggunaan bahasa Inggris bukan hanya terjadi di kelas, tetapi juga saat makan, olahraga, atau bahkan ketika bersantai. Dengan demikian, bahasa Inggris bukan lagi dianggap sebagai mata pelajaran, melainkan menjadi bagian dari gaya hidup harian.
Inspirasi awalnya datang dari Kampung Inggris Pare, Kediri, sebuah model pendidikan informal yang telah terbukti sukses. Melihat potensi yang sama di Sumatera Barat, Marlis merasa perlu menghadirkan versi lokal yang tidak kalah berkualitas. Ia percaya, membangun sumber daya manusia yang unggul tak harus menunggu infrastruktur negara yang megah cukup dengan niat, kreativitas, dan ruang yang memberdayakan.
Kini, Kampung Inggris Alinia telah menjadi alternatif baru bagi mereka yang ingin belajar bahasa asing dalam suasana yang menyenangkan dan progresif. Di sinilah semangat perubahan itu hidup: tidak hanya dalam kata, tetapi dalam tindakan nyata.
Catatan Kaki Seorang Pejuang
Marlis bukan lagi hanya dikenal sebagai seorang politisi. Setelah menjalani dua periode sebagai anggota DPRD Sumatera Barat, ia melangkah keluar dari panggung politik tanpa meninggalkan semangat pengabdiannya. Pengalaman di parlemen justru menjadi batu loncatan baginya untuk menapaki jalur yang lebih luas jalur pembangunan sosial dan ekonomi berbasis kewirausahaan.
Ia menjelma menjadi simbol ketangguhan, inovasi, dan kepedulian. Sosok yang tak hanya mampu bertahan saat badai datang termasuk saat menghadapi kredit macet usai masa jabatannya di dewan tetapi juga mampu bangkit dengan ide-ide segar dan solusi nyata. Dari reruntuhan kegagalan, ia membangun sesuatu yang lebih besar. Ia menjahit luka-luka lama dengan benang-benang harapan baru, membuka lapangan kerja, dan menciptakan ruang belajar serta pemberdayaanemimpin yang Lahir dari Tanah, Bukan Tahta.
Dalam kisah hidup Drs. H. Marlis, M.M., kita tidak hanya menemukan jejak seorang mantan anggota dewan, tetapi juga narasi panjang tentang ketekunan, keberanian, dan tekad untuk terus menyalakan cahaya di tengah gelapnya zaman. Ia tidak menjadikan jabatan sebagai panggung, melainkan sebagai jembatan. Dan ketika panggung itu usai, ia membuktikan bahwa pengabdian tak berhenti bersama masa jabatan.
Marlis adalah bukti bahwa kepemimpinan sejati tidak selalu bersuara lantang di ruang sidang, tetapi bisa tumbuh dari senyapnya desa, dari peluh di kandang ayam, dari tawa anak-anak di sekolah alam, atau dari sapaan hangat dalam kampung bahasa. Ia menjelma menjadi simbol bahwa menjadi besar tidak harus menjatuhkan orang lain, dan membangun tak harus selalu dengan modal besar, tapi cukup dengan niat yang tak pernah padam.
Kini, Alinia bukan sekadar entitas bisnis, ia adalah gerakan. Gerakan yang menghidupkan harapan di tempat yang sebelumnya tak dilirik, gerakan yang membuktikan bahwa seorang mantan wakil rakyat bisa tetap menjadi wakil suara-suara kecil, bukan dari podium, tapi dari akar rumput.
Jika ada satu pelajaran dari perjalanan Marlis, mungkin itu adalah bahwa kesuksesan sejati bukan tentang siapa yang paling cepat mencapai puncak, tetapi siapa yang tetap berdiri tegak ketika badai datang, yang mampu menyalakan lilin kecil ketika dunia diliputi gelap, dan yang dengan rendah hati berkata:
“Saya masyarakat biasa, orang biasa yang ingin berbuat baik untuk sesama.”
Dan mungkin, di sanalah letak makna sejati dari menjadi pemimpin. (*/CHL)
Alinea News saya sarankan untuk tidak membangun inspirasi yang keliru dengan mempromosikan seseorang.
Seharusnya menjadi media yang Independen, Informatif dan Inspiratif.
Tidak elegan sebuah media kalau mengkultuskan seorang manusia.
Salam… 🤝