Oleh YURNALDI, Wartawan Utama, Pemred alinianews.com.
Ketika pemerintah sedang menghadapi keterbatasan fiskal, publik kerap dikejutkan dengan keputusan pembentukan lembaga baru.(baca “Deretan Lembaga Baru Bentukan Presiden Prabowo“, alinianews.com, 26/8/2025). Di permukaan, alasan yang dikemukakan terdengar mulia: meningkatkan efektivitas, mempercepat koordinasi, atau memberi perhatian khusus pada isu tertentu. Namun, di balik semua itu, muncul pertanyaan mendasar: apakah lembaga baru benar-benar menjawab kebutuhan rakyat, atau sekadar menambah beban anggaran dan mempertebal lapisan birokrasi?
Birokrasi yang Terus Mengembang
Indonesia dikenal dengan jumlah lembaga negara yang gemuk. Ada kementerian, lembaga non-kementerian, badan, komisi, otoritas, hingga satuan kerja lintas sektoral. Tidak jarang, fungsi di antara mereka tumpang tindih. Misalnya, urusan riset dan inovasi pernah menjadi sorotan ketika pemerintah membubarkan beberapa lembaga litbang hanya untuk digabung ke dalam badan baru, yang belakangan juga menuai kritik karena tidak efektif.
Ketika anggaran seret, langkah yang logis seharusnya adalah efisiensi. Namun yang terjadi justru sebaliknya: pemerintah menambah entitas baru. Logika publik sederhana: jika anggaran saja terbatas, mengapa justru menambah pos belanja untuk gaji pejabat, staf, fasilitas kantor, hingga kendaraan dinas?
Motif Politik yang Terselubung
Tidak bisa dipungkiri, pembentukan lembaga baru seringkali bukan semata kebutuhan birokrasi, melainkan juga politik. Lembaga dapat menjadi wadah untuk bagi-bagi jabatan, menampung figur yang “perlu diberi tempat”, atau mengakomodasi kepentingan partai politik. Di titik inilah publik merasa pembentukan lembaga bukanlah solusi bagi rakyat, melainkan transaksi kekuasaan.
Kasus serupa bukan barang baru. Sejak era Orde Baru hingga Reformasi, pola ini berulang. Ketika ada tekanan politik atau isu besar, jawaban instan pemerintah sering berupa lembaga baru. Ironisnya, sedikit sekali lembaga yang benar-benar memberi dampak langsung bagi kehidupan rakyat.
Untung dan Rugi bagi Publik
Secara teori, lembaga baru bisa memberi keuntungan. Ia dapat menjadi wadah fokus untuk isu penting yang selama ini tercecer di antara kementerian. Misalnya, lembaga penanggulangan bencana yang mempercepat koordinasi lintas instansi, atau badan narkotika yang memberi perhatian khusus pada darurat narkoba. Jika benar-benar bekerja sesuai mandat, lembaga baru bisa memberi manfaat nyata.
Namun dalam praktik, kerugian lebih sering mendominasi. Pertama, beban anggaran. Biaya operasional sebuah lembaga baru tidak kecil. Ia mencakup belanja pegawai, operasional, hingga investasi gedung dan fasilitas. Dalam kondisi fiskal yang ketat, setiap rupiah yang dialihkan untuk birokrasi berlebih sejatinya adalah pengurangan dana yang seharusnya bisa digunakan untuk kesehatan, pendidikan, atau perlindungan sosial.
Kedua, tumpang tindih kewenangan. Banyak lembaga baru sekadar menduplikasi fungsi kementerian. Akibatnya, keputusan jadi lambat karena harus melalui lebih banyak meja. Contoh klasik adalah koordinasi lintas sektor yang bukannya makin cepat, justru makin tersendat.
Ketiga, rendahnya dampak ke masyarakat. Rakyat jarang merasakan kehadiran lembaga baru. Sebagian besar hanya berfungsi administratif, dengan aktivitas terbatas pada seminar, rapat, dan program yang berputar di kalangan birokrat, jauh dari kebutuhan nyata publik.
Alternatif: Memperkuat yang Sudah Ada
Daripada terus-menerus membentuk lembaga baru, langkah yang lebih bijak adalah mengoptimalkan lembaga yang sudah ada. Kementerian dan badan yang ada perlu diberi sumber daya, kewenangan, dan arah kebijakan yang jelas agar mampu menjalankan fungsi strategis.
Selain itu, perlu ada keberanian untuk melakukan reformasi birokrasi: membubarkan lembaga yang tidak relevan, merampingkan struktur, dan mengintegrasikan fungsi yang serupa. Pemerintah pernah melakukannya dengan membubarkan belasan lembaga non-struktural. Namun langkah itu belum konsisten. Di satu sisi membubarkan, di sisi lain menambah lembaga baru.
Yang tidak kalah penting, jika memang benar-benar diperlukan lembaga baru, pemerintah wajib menjelaskan secara transparan: apa masalah yang hendak diselesaikan? mengapa tidak bisa ditangani oleh lembaga lama? apa target terukur yang ingin dicapai? dan berapa lama lembaga itu diperlukan? Tanpa jawaban yang gamblang, publik wajar meragukan urgensi pembentukan lembaga baru.
Efisiensi sebagai Keutamaan
Negara dengan kondisi fiskal terbatas harus mengutamakan efisiensi. Prinsipnya sederhana: setiap rupiah uang rakyat harus kembali dalam bentuk manfaat nyata. Dalam konteks ini, menambah lembaga justru kontraproduktif bila hanya menambah belanja rutin tanpa menghasilkan kinerja berarti.
Efisiensi bukan berarti mengurangi peran negara, melainkan memastikan bahwa peran negara hadir tepat sasaran. Lembaga yang ramping, kuat, dan fokus jauh lebih baik daripada birokrasi gemuk yang boros dan lambat.
Pembentukan lembaga baru di tengah keterbatasan anggaran menimbulkan pertanyaan serius tentang orientasi pemerintah. Apakah untuk menjawab kebutuhan rakyat, atau sekadar menambah ruang bagi kepentingan politik?
Rakyat membutuhkan birokrasi yang efektif, bukan gemuk. Yang dibutuhkan adalah lembaga yang mampu bekerja cepat, memberi solusi, dan menghadirkan manfaat langsung, bukan sekadar menambah deret panjang struktur organisasi negara.
Di saat anggaran seret, membentuk lembaga baru seharusnya menjadi pilihan terakhir—bukan pilihan utama. Sebab, tanpa keberanian untuk berhemat dan berfokus pada efisiensi, beban birokrasi akan terus menekan, sementara rakyat tetap menunggu kehadiran negara yang benar-benar melayani.
Jakarta, 26 Agustus 2025.