JAKARTA, ALINIANEWS.COM – Gelombang unjuk rasa yang terjadi selama tiga hari terakhir di sejumlah daerah, termasuk DKI Jakarta, mulai menimbulkan dampak serius terhadap perekonomian nasional. Demonstrasi yang semula berlangsung damai berubah anarkis, meninggalkan kerusakan fasilitas umum hingga korban jiwa. Namun dampak paling nyata kini dirasakan oleh roda ekonomi, terutama di kawasan Jabodetabek sebagai pusat aktivitas nasional.
Ekonom sekaligus Direktur Ekonomi CELIOS (Center of Economic and Law Studies), Nailul Huda, memperingatkan bahwa potensi kerugian akibat demonstrasi ini bisa mencapai angka fantastis. Ia menilai, sektor jasa menjadi yang paling terpukul akibat lumpuhnya aktivitas masyarakat.
“Sektor jasa turun cukup signifikan dalam dua-tiga hari terakhir. Sektor jasa ini berkontribusi sekitar 45 persen dari ekonomi nasional atau sekitar Rp9.900 triliun per tahun,” kata Huda kepada Liputan6.com, Senin (1/9).
Dengan perhitungan sederhana, kata Huda, bila aktivitas sektor jasa terganggu 10 persen saja selama tiga hari terakhir, maka kerugian ekonomi makro bisa tembus Rp8–9 triliun.
“Jika tiga hari dan yang terkena dampak 10 persen saja, maka kerugian bisa mencapai Rp8–9 triliun secara ekonomi makro. Tentu ini adalah kerugian yang diakibatkan inkompetensi pemerintah dalam mengatasi demo dalam tiga hari terakhir,” tegasnya.
Guncangan sosial politik akibat demonstrasi besar ini tak hanya memukul sektor jasa, tapi juga merembet ke pasar keuangan. Pada Jumat (29/8), IHSG ditutup melemah 1,53 persen di level 7.830,49, meninggalkan level psikologis 8.000. Sebanyak 610 saham rontok, termasuk saham-saham unggulan seperti BBCA, BBRI, TLKM, dan BREN.
Nilai tukar rupiah juga ikut tertekan. Rupiah ditutup melemah 0,89 persen ke level Rp16.485 per dolar AS, menjadi titik terendah sejak awal Agustus. Situasi politik yang memanas mendorong investor asing menarik modal, menambah tekanan pada stabilitas ekonomi.
Tak berhenti di situ, masyarakat dan investor berbondong-bondong mencari aset aman. Lonjakan permintaan emas membuat harga emas Antam naik ke Rp2,06 juta per gram, UBS Rp1,98 juta, dan Galeri24 Rp1,96 juta per gram.
Ancaman Serius untuk Pertumbuhan dan Investasi
Huda memperingatkan, kerugian besar di sektor jasa ini berpotensi menyeret sektor lain. Ketergantungan ekonomi Indonesia pada konsumsi masyarakat membuat dampaknya terasa cepat: transportasi daring sepi, pusat perbelanjaan lengang, ritel dan UMKM di sekitar titik aksi anjlok omzetnya.
“Ekonomi Indonesia akan lebih melambat ketika tidak ada investasi masuk, dunia usaha juga waswas dampak demo makin meluas. Investasi pasti akan berkurang, ketersediaan lapangan kerja akan terbatas,” ujarnya.
Selain investasi yang terancam mandek, kerugian ini juga diprediksi menggerus penerimaan pajak, menekan daya beli masyarakat, dan mengganggu distribusi barang.
Di tengah situasi ini, Huda tak segan menuding pemerintah gagal merespons gejolak sosial. Ia menilai inkompetensi pemerintah justru memperbesar biaya sosial dan ekonomi yang harus ditanggung masyarakat.
“Maka Pemerintah wajib mengevaluasi kebijakan yang tidak tepat sasaran, termasuk program MBG dan Koperasi Merah Putih. Terakhir pemerintah memberikan keterangan dengan data yang valid terkait dengan perekonomian, tidak seperti yang dilakukan oleh BPS tempo hari,” pungkasnya.
Bank Indonesia Bergerak Jaga Stabilitas
Sementara itu, Bank Indonesia memastikan tak tinggal diam. Kepala Departemen Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas BI, Erwin Gunawan Hutapea, menegaskan komitmen bank sentral untuk menjaga stabilitas rupiah.
“Bank Indonesia (BI) akan terus berada di pasar untuk menjaga stabilitas nilai tukar dan kecukupan likuiditas Rupiah di tengah gejolak di dalam negeri,” kata Erwin dalam keterangannya, Senin (1/9).
Menurutnya, BI terus memperkuat langkah stabilisasi melalui intervensi di pasar domestik maupun luar negeri, baik dengan transaksi spot, DNDF, hingga pembelian SBN di pasar sekunder.
(*/rel)