JAKARTA, ALINIANEWS.COM — Mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan, dihadirkan sebagai saksi dalam sidang kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang Pertamina, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Senin (27/10/2025).
Karen bersaksi untuk terdakwa Muhamad Kerry Adrianto Riza, beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa sekaligus anak dari pengusaha minyak Mohamad Riza Chalid. Dalam persidangan, Karen membeberkan sejumlah hal, mulai dari awal perkenalannya dengan Riza Chalid hingga persoalan penyewaan Terminal Bahan Bakar Minyak (BBM) Merak yang dimiliki PT Oiltanking Merak (OTM).
“Saya baru pulang dari rapat di Natuna, di lobi dengan Pak Ari (Soemarno) dan bertemu dengan Mohamad Riza Chalid, dan saya diperkenalkan,” ujar Karen di hadapan majelis hakim.

Setelah pertemuan tersebut, Karen juga berkenalan dengan Irawan Prakoso, yang disebut sebagai anak buah Riza Chalid. “Pada saat itu, hanya disampaikan sebagai anak buahnya Pak Mohamad Riza,” lanjutnya.
Karen mengaku tak mengetahui adanya keterlibatan Riza Chalid atau peran anaknya di balik pengadaan terminal BBM Merak yang dilakukan melalui PT Oiltanking Merak.
Delegasi Wewenang Penandatanganan
Dalam kesaksiannya, Karen turut menjelaskan soal pengalihan wewenang penandatanganan perjanjian penyewaan terminal BBM Merak kepada Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina saat itu, Hanung Budya Yuktyanta.
“Mengingat rencana pemanfaatan ini hanya dalam Direktorat Pemasaran dan Niaga, maka kami usulkan untuk dikuasakan saja ke Direktur Pemasaran Niaga sebagai wakil PT Pertamina Persero. Jadi, Pak Hanung yang meminta untuk dikuasakan ke beliau,” terang Karen.
Menurutnya, pelimpahan tersebut tertuang dalam surat bertanggal 27 Januari 2014. Saat itu, Pertamina berencana menyewa tangki BBM Merak yang dimiliki Oiltanking Merak.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Triyana Setia Putra mempertanyakan alasan Karen memberikan pelimpahan wewenang kepada bawahannya.
“Itu secara aturan dimungkinkan di internal Pertamina?” tanya jaksa.
Karen menjawab, karena proyek tersebut masih pada tahap Memorandum of Understanding (MoU), maka penandatanganan tidak harus dilakukan oleh Direktur Utama. “Masih bisa dilakukan oleh level manajer,” jelasnya.
Ia juga menegaskan, setelah memberikan kuasa kepada Hanung, dirinya tidak pernah menerima laporan perkembangan proyek tersebut. “Secara resmi di dalam rapat direksi tidak pernah, secara pribadi pun tidak pernah (dapat laporan),” ujar Karen.
Dua Tokoh Nasional Diduga Tekan Karen
Dalam sidang, jaksa juga membacakan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang menyebut adanya tekanan kepada Karen untuk memperhatikan proyek tangki Merak.
“Terdapat dua tokoh nasional yang menghampiri saya dan menyampaikan agar tangki Merak diperhatikan,” kata jaksa membacakan BAP Karen, terkait peristiwa yang disebut terjadi di sebuah pesta pernikahan pejabat di Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan, awal 2014.
Namun, Karen menegaskan dirinya tidak selalu menuruti permintaan dari pihak luar yang mencoba memengaruhi kebijakan di Pertamina.
“Sebagai Dirut Pertamina, yang assalamualaikum ke Dirut Pertamina itu banyak. Masalahnya, diakomodir atau tidak,” ucapnya.
Karen menilai tekanan itu lebih sebagai bentuk dorongan agar dirinya menjalankan tata kelola perusahaan dengan benar. “Kalau dibilang agar diperhatikan, itu menjadi cambuk bagi saya untuk menekan supaya benar-benar taat pada TKO (tata kerja organisasi),” jelasnya.
Karen Sebut Ada Pengalihan Tanggung Jawab Pemerintah
Dalam bagian lain persidangan, Karen menyinggung soal pengalihan tanggung jawab dari pemerintah ke Pertamina terkait permintaan peningkatan stok BBM nasional dari 18 hari menjadi 30 hari.
“Secara jujur, saya melihat bahwa ini pengalihan tanggung jawab pemerintah ke Pertamina. Karena sebetulnya, untuk operasional itu sudah cukup,” ujar Karen menjawab pertanyaan hakim anggota Adek Nurhadi.
Karen menjelaskan, permintaan pemerintah agar stok BBM dinaikkan membuat Pertamina perlu menambah kapasitas tangki penyimpanan, termasuk opsi menyewa fasilitas milik PT Oiltanking Merak.
“Bukan masalah sewa OTM-nya. Masalah perbedaan bahwa Pertamina diminta untuk menambah stok nasional hari yang bukan merupakan tanggung jawab korporasi,” tegasnya.
Ia mengaku saat itu sudah menjelaskan bahwa peningkatan stok hingga 30 hari akan membebani keuangan Pertamina.
“Satu hari itu adalah sekitar 125 juta dolar. Kalau 30 hari stok nasional, itu 30 kali 125 juta dolar. Karena itu kami selalu menyingkirkan permohonan 30 hari dan komit untuk andal dalam distribusi dan suplai kepada konsumen,” papar Karen.
Hakim kemudian menanyakan apakah Pertamina sempat mengalami kendala dalam pasokan BBM selama masa jabatannya. Karen menegaskan hal itu tidak pernah terjadi.
“Selama saya menjabat Dirut Pertamina dari tahun 2009 sampai berakhir, tidak pernah ada masalah,” ujarnya dengan tegas.
Kerugian Negara Capai Rp 285 Triliun
Dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum, proyek pengadaan terminal BBM PT Oiltanking Merak disebut menyebabkan kerugian keuangan negara hingga Rp 2,9 triliun, sementara total kerugian dari keseluruhan perkara mencapai Rp 285,1 triliun.
Sebanyak 18 orang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini, sembilan di antaranya telah disidangkan. Mereka antara lain:
- 
Muhamad Kerry Adrianto Riza (beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa), 
- 
Yoki Firnandi (Dirut PT Pertamina International Shipping), 
- 
Agus Purwono (VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional), 
- 
Dimas Werhaspati (Komisaris PT Navigator Khatulistiwa & Komisaris PT Jenggala Maritim), 
- 
Gading Ramadhan Joedo (Dirut PT Orbit Terminal Merak), 
- 
Riva Siahaan (Dirut PT Pertamina Patra Niaga), 
- 
Sani Dinar Saifuddin (Direktur Feedstock dan Product Optimization PT KPI), 
- 
Maya Kusmaya (Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Patra Niaga), 
- 
Edward Corne (VP Trading Operations PT Patra Niaga). 
Adapun berkas sembilan tersangka lainnya, termasuk milik Riza Chalid yang masih buron, belum dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. (*/Rel)


 
                                    
