PADANG, ALINIANEWS.COM — Dua aktivis hak asasi manusia (HAM) terkemuka Sumatra Barat, Direktur dan Mantan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang, Diki Rafiqi dan Indira Suryani, resmi menerima surat pemanggilan dari Kepolisian Daerah Sumatra Barat. Keduanya dijadwalkan menjalani klarifikasi atas dugaan pencemaran nama baik seorang hakim Pengadilan Negeri (PN) Padang, pada Senin, 15 Juli 2025 mendatang di Subdit V Siber Ditreskrimsus Polda Sumbar.
Pemanggilan ini menyusul laporan dari hakim PN Padang berinisial B, yang mengadukan unggahan akun Instagram @lbh_padang dan TikTok @keadilanuntuksemua ke pihak kepolisian, dengan sangkaan melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Dugaan pelanggaran mencakup distribusi konten elektronik bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Namun, pemanggilan terhadap dua tokoh LBH Padang ini memicu keprihatinan luas. Pasalnya, hakim B justru adalah sosok yang sebelumnya telah dilaporkan LBH Padang ke Komisi Yudisial dan Polda Sumbar atas dugaan intimidasi dan ancaman terhadap dua advokat perempuan: Dechtree Ranti Putri dan Annisa Hamda, saat mendampingi klien dalam perkara perdata hubungan industrial di PN Padang pada 5 Juni 2024.
“Iya benar, saya dipanggil untuk klarifikasi oleh Ditreskrimsus terkait pencemaran nama baik hakim B,” ujar Diki Rafiqi kepada Haluan pada Sabtu (12/7).
Menurutnya, pemanggilan ini berkaitan erat dengan kritik terbuka LBH Padang terhadap tindakan intimidatif hakim B yang dirasakan sebagai bentuk pelecehan terhadap profesi advokat dan pelanggaran etik hakim.
Dugaan intimidasi tersebut terungkap ke publik dalam konferensi pers yang digelar LBH Padang pada 7 Juni 2024. Saat itu, Dechtree Ranti Putri mengisahkan peristiwa mengerikan yang dialaminya bersama rekannya, Annisa Hamda, di ruang tunggu sidang.
“B tiba-tiba datang dan menyodorkan ponselnya untuk memotret kami. Saya tanya kenapa, dia bilang, ‘jangan macam-macam dengan saya. Masih ada dua tahun saya di sini. Ingat, saya ada foto kamu.’ Lalu dia berkata, ‘kau kalau laki-laki sudah saya ladiang kau,’” ungkap Ranti mengutip ucapan kasar sang hakim, yang menyebut kata ladiang, senjata tajam khas Minangkabau, sebagai simbol ancaman.
Atas insiden tersebut, LBH Padang melaporkan hakim B ke Komisi Yudisial dan aparat penegak hukum, karena dianggap melanggar kode etik dan prinsip profesionalisme hakim.
Namun, bukan perlindungan hukum yang didapat, LBH Padang justru kini menghadapi balik tuduhan pidana dari hakim yang mereka laporkan. Direktur LBH Padang menyayangkan situasi ini dan menyebutnya sebagai bentuk pembungkaman terhadap suara keadilan.
“Kami kritisi tindakan dia (Hakim B) yang mengintimidasi advokat kami, malah kami yang sekarang dilaporkan. Ini sangat kami sesalkan,” kata Diki.
“Kami menilai ini sebagai bentuk pembungkaman terhadap upaya penegakan keadilan dan demokrasi di Sumatera Barat,” tegasnya lagi.
Solidaritas pun mengalir deras. Tagar #KamiBersamaDikiDanIndira menggema di media sosial Sumatera Barat, sebagai bentuk dukungan terhadap perjuangan dua aktivis HAM yang dikenal vokal membela masyarakat miskin, tertindas, dan kelompok rentan.
Banyak pihak menyayangkan langkah hukum terhadap LBH Padang dan menilainya sebagai kriminalisasi terhadap kebebasan berekspresi, serta ancaman serius terhadap demokrasi dan perlindungan hukum di ranah peradilan.
“Ini bukan hanya tentang dua orang aktivis, tapi tentang nyali kita semua untuk bersuara di hadapan ketidakadilan. Jika advokat perempuan diintimidasi dan pelapornya malah diproses hukum, lalu siapa yang akan berani bicara lagi?” tulis seorang pengguna media sosial.
Kasus ini kini menjadi cermin buram wajah keadilan di Sumatera Barat. Ketika pelapor pelecehan justru berujung jadi tersangka pencemaran, publik pun bertanya: di mana keberpihakan hukum sebenarnya? (*/rel)