Presiden ke-7 Jokowi, setelah bertemu dengan Presiden Prabowo Subianto, pada Minggu (20/7/2025).
JAKARTA, ALINIANEWS.COM – Presiden ke-7 RI, Joko Widodo, meminta penundaan pemeriksaan dirinya sebagai pelapor dalam kasus tudingan ijazah palsu yang tengah diselidiki oleh Polda Metro Jaya. Melalui kuasa hukumnya, Rivai Kusumanegara, Jokowi menyampaikan alasan penundaan tersebut disebabkan oleh kondisi kesehatannya yang belum memungkinkan untuk melakukan perjalanan.
“Kondisi kesehatan Pak Jokowi yang tidak memungkinkan keluar kota (karena masih) masa observasi dokter,” ujar Rivai saat dikonfirmasi pada Selasa (22/7/2025).
Tak hanya menunda, Jokowi melalui tim hukumnya juga mengajukan dua opsi alternatif kepada penyidik Subdit Keamanan Negara Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya.
“Yakni menunggu approval dokter atau Pak Jokowi diperiksa di kediaman sesuai ketentuan Pasal 113 KUHAP,” jelas Rivai.
Menurut Rivai, pihaknya saat ini tengah menunggu jawaban resmi dari penyidik terkait permohonan tersebut.
“Mudah-mudahan dalam minggu ini sudah mendapat jawabannya,” ucapnya optimistis.
Sebelumnya, Polda Metro Jaya telah mengirimkan surat panggilan kepada Jokowi untuk menjalani pemeriksaan sebagai pelapor pada Kamis (17/7/2025). Namun, permintaan penundaan diajukan seiring dengan meningkatnya status perkara ke tahap penyidikan pasca gelar perkara pada Kamis (10/7/2025).
Kasus ini bermula dari laporan Jokowi pada Rabu (30/4/2025), yang teregistrasi dengan nomor LP/B/2831/IV/2025/SPKT/POLDA METRO JAYA. Dalam laporan tersebut, Jokowi menuduh lima orang menyebarkan tudingan ijazah palsu, yaitu Roy Suryo Notodiprojo, Rismon Hasiholan Sianipar, Eggi Sudjana, Tifauzia Tyassuma, dan Kurnia Tri Royani.
Sebagai barang bukti, Jokowi menyerahkan satu buah flashdisk berisi 24 tautan video YouTube dan unggahan media sosial X, fotokopi ijazah dan legalisirnya, fotokopi sampul skripsi, serta lembar pengesahan. Ia menjerat para terlapor dengan sejumlah pasal:
Pasal 310 dan/atau Pasal 311 KUHP tentang pencemaran nama baik, Pasal 35 jo Pasal 51 ayat (1), Pasal 32 ayat (1) jo Pasal 48 ayat (1), dan/atau Pasal 27A jo Pasal 45 ayat (4) UU ITE Nomor 11 Tahun 2008.
Di sisi lain, Roy Suryo dan rekan-rekannya yang menjadi terlapor justru mengajukan permintaan gelar perkara khusus. Namun permintaan ini dinilai janggal oleh kuasa hukum Jokowi.
“Menurut saya terlalu dini karena penyidikan baru saja dimulai,” ujar Rivai.
Ia menyebut, gelar perkara semestinya dilakukan di akhir penyidikan untuk mengevaluasi proses hukum. Karena itu, ia mencurigai upaya ini sebagai manuver untuk memperlambat proses.
“Sekalipun kami menghargai upaya yang dilakukan penasihat hukum, namun kami menduga hanya untuk mengulur proses penyidikan saja,” tegasnya.
“Kami menduganya demikian karena tidak biasanya permintaan gelar perkara di awal penyidikan,” tambahnya lagi.
Sampai saat ini, Subdit Keamanan Negara menangani enam laporan polisi dalam kasus ini. Laporan dari Jokowi menjadi salah satu yang telah naik ke tahap penyidikan. Sementara lima laporan lainnya berasal dari pelimpahan polres, dengan tiga laporan di antaranya juga telah ditemukan dugaan pidana. Adapun dua laporan lainnya telah dicabut oleh pelapor dan tidak memenuhi undangan klarifikasi.
Namun, proses hukum tetap bergulir.
“Dua laporan lainnya sudah dicabut dan pelapor tidak memenuhi undangan klarifikasi,” kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Ade Ary.
“Tapi penyidik tetap akan menentukan kepastian hukum terhadap keduanya,” tambahnya.
Kasus ini bukan sekadar persoalan ijazah, tapi telah menjadi pertaruhan integritas dan kredibilitas publik seorang kepala negara. Kini publik menunggu, bagaimana langkah hukum akan dijalankan dengan adil dan transparan. (*/rel)