spot_img
spot_img

Iran, Israel, dan AS Sepakat Gencatan Senjata: Trump Redam Perang, Intelijen Bongkar Fakta Lain

JAKARTA, ALINIANEWS,COM – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan tercapainya kesepakatan gencatan senjata antara Iran dan Israel pada Selasa (24/6), setelah dua pekan ketegangan militer yang hampir menyeret kawasan ke dalam perang terbuka. Namun, di balik pengumuman dramatis ini, berbagai kalangan menilai kesepakatan tersebut belum tentu bertahan lama, sementara kredibilitas informasi terkait dampak serangan AS ke situs nuklir Iran juga menjadi sorotan tajam.

“Saya tidak berpikir Pemerintah Israel mampu mempertahankan perang jangka panjang, tetapi saya pikir faktor utamanya di sini adalah Presiden Trump. Dia tidak ingin melihat perang baru di wilayah tersebut pecah di bawah pengawasannya,” ujar Will Todman, peneliti senior di Program Timur Tengah, Center for Strategic and International Studies (CSIS), dikutip dari AFP.

Gencatan senjata ini diumumkan hanya beberapa hari setelah Iran meluncurkan rudal ke pangkalan militer AS di Qatar. Meskipun rudal tersebut berhasil dicegat, insiden ini memperlihatkan skala eskalasi yang hampir tak terkendali. Alih-alih melakukan serangan balasan, Trump justru mendesak Israel untuk tidak melanjutkan operasi militernya ke wilayah Iran, langkah yang dinilai sebagai manuver cepat untuk menghindari konflik berskala besar.

Iklan

“Itulah yang mengubah kalkulasi untuk Israel dan juga untuk Iran,” tambah Todman.
Klaim Kemenangan dan Serangan Udara AS

Ketiga pihak Iran, Israel, dan Trump mengklaim kemenangan atas konflik 12 hari yang memuncak pada serangan udara AS ke tiga situs nuklir utama Iran pada Sabtu (21/6). Trump menyebut fasilitas tersebut telah “dihancurkan”, namun laporan rahasia yang diungkap CNN dan The New York Times menyatakan bahwa bagian inti dari situs-situs tersebut nyaris tidak mengalami kerusakan berarti.

BACA JUGA  Israel Ancam Lanjutkan Perang Jika Hamas Langgar Gencatan Senjata, Trump Desak Serahkan Semua Jenazah Sandera

Menurut laporan tersebut, serangan hanya menutup akses ke beberapa pintu masuk tetapi gagal menghancurkan struktur bawah tanah di mana program nuklir Iran berpusat. Bahkan, Badan Intelijen Pertahanan AS (DIA) menyebut serangan itu hanya akan menunda program nuklir Iran “kurang dari enam bulan”.

Serangan tersebut juga dilaporkan tidak menghancurkan cadangan uranium yang telah dipindahkan Iran sebelum pengeboman dilakukan. “Kebocoran penilaian yang dituduhkan ini merupakan upaya jelas untuk merendahkan Presiden Trump, dan mendiskreditkan pilot pesawat tempur pemberani yang melakukan misi yang dieksekusi dengan sempurna untuk meluluhlantakkan program nuklir Iran,” kata Sekretaris Pers Gedung Putih Karoline Leavitt dalam pernyataan di platform X.

Trump sendiri membalas dengan marah di Truth Social: “Berita palsu CNN, bersama dengan New York Times yang gagal, telah bekerja sama dalam upaya untuk mengkerdilkan salah satu serangan militer paling berhasil dalam sejarah.”

Sementara itu, Direktur CIA John Ratcliffe merilis pernyataan yang bertentangan dengan laporan DIA. Ia menyatakan CIA memiliki bukti kredibel bahwa fasilitas nuklir Iran mengalami kerusakan parah dan “harus dibangun kembali selama bertahun-tahun”. Informasi ini, kata Ratcliffe, diperoleh dari metode intelijen yang “secara historis dapat diandalkan”.

Peran Negara Teluk dan Kritik Domestik

Di luar retorika Trump, sejumlah analis menyoroti peran kunci negara-negara Teluk seperti Qatar dalam mendorong gencatan senjata melalui diplomasi senyap. “Trump secara vokal menggunakan kekuatan troll-nya untuk mencoba menahan tindakan Israel dan Iran, tetapi dia kalah penting dibandingkan peran yang terus dimainkan oleh negara-negara ini,” ujar Brian Katulis dari Middle East Institute.

BACA JUGA  Israel Ancam Lanjutkan Perang Jika Hamas Langgar Gencatan Senjata, Trump Desak Serahkan Semua Jenazah Sandera

Ia menilai, pendekatan kebijakan luar negeri Trump yang menggabungkan komunikasi digital dengan manuver militer hanya memperkeruh pemahaman global. “Operasi militer yang bersifat taktis, dikombinasikan dengan banyak komunikasi strategis, membingungkan orang Amerika dan aktor global tentang apa yang sebenarnya ingin dilakukan oleh pemerintahan Trump,” tambah Katulis.

Kritik juga datang dari kalangan Demokrat. Annelle Sheline, peneliti dari Quincy Institute for Responsible Statecraft, menyatakan: “Trump menunjukkan bahwa dia dapat mengendalikan Israel ketika dia memilih untuk melakukannya. Sekarang dia harus melakukan hal yang sama untuk bersikeras pada gencatan senjata di Gaza.”

Ia menyoroti serangan Israel yang tetap berlanjut di Lebanon dan Gaza meskipun kesepakatan gencatan senjata telah diumumkan.

Dampak Politik Domestik

Di tengah suasana menjelang pemilu presiden AS, gencatan senjata ini bisa menjadi kartu politik penting – sekaligus bumerang – bagi Presiden Trump. “Operasi militer AS yang berkepanjangan bisa berpotensi memecah dukungan terhadap Presiden Trump, bahkan dari basis pendukungnya sendiri,” kata Jonathan Panikoff dari Atlantic Council.

Meski demikian, Panikoff memperkirakan dukungan dari kelompok konservatif dan basis Partai Republik tetap akan solid, setidaknya untuk saat ini.

spot_img

Latest news

- Advertisement -spot_img

Berita Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses