BUKITTINGGI, ALINIANEWS.COM – Suasana tenang di lingkungan SMAN 1 Bukittinggi akhir-akhir ini terusik oleh keresahan sebagian orang tua siswa. Pasalnya, pihak sekolah bersama Komite Sekolah diduga memberlakukan pungutan rutin sekitar Rp250.000 per bulan kepada orang tua siswa dengan label “sumbangan sukarela”.
Namun, ketika istilah “sukarela” sudah ditentukan nominal dan waktu pembayarannya, muncul pertanyaan besar: apakah ini masih murni sumbangan atau justru pungutan yang dilarang?
Bertentangan dengan Regulasi
Berdasarkan Permendikbud No. 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, pasal 10 ayat (2) secara jelas menyebutkan bahwa penggalangan dana oleh komite sekolah berbentuk bantuan atau sumbangan, bukan pungutan. Bahkan pada pasal 12 ditegaskan, komite dilarang melakukan pungutan dari peserta didik atau orang tua/walinya.
Jika demikian, kebijakan penarikan dana sekitar Rp250.000 per bulan ini patut dipertanyakan legalitasnya. Sebab, sukarela berarti tanpa paksaan, tanpa nominal baku, dan tanpa kewajiban yang mengikat.
Suara Orang Tua yang Tersisih
Sejumlah orang tua siswa mengaku terbebani dengan kebijakan ini.
“Kami tidak menolak mendukung pendidikan anak-anak, tapi kalau disebut sukarela, seharusnya tidak dipatok. Ini terasa seperti pungutan wajib, bukan sumbangan,” keluh seorang wali murid yang minta identitasnya dirahasiakan.
Sebagian lagi mengaku takut bersuara lantaran khawatir anak mereka mendapat perlakuan berbeda di sekolah. Inilah yang membuat isu ini semakin sensitif dan menimbulkan keresahan diam-diam.
Selain masalah pungutan, transparansi pengelolaan dana komite juga dipertanyakan. Hingga kini laporan pertanggungjawaban penggunaan uang komite tahun 2023 dan 2024 belum dipublikasikan secara terbuka kepada orang tua siswa.
Padahal sesuai regulasi, setiap dana hasil penggalangan harus dibukukan dalam rekening bersama sekolah dan komite, serta dipertanggungjawabkan secara periodik kepada publik.
Tim AliniaNews.com telah berupaya mengonfirmasi hal ini kepada Kepala SMAN 1 Bukittinggi, Dra. Silfa Dusun, M.Pd. Namun hingga berita investigasi ini diterbitkan, belum ada tanggapan resmi yang diberikan.
Ketua BPI KPNPA RI Sumbar, Marlis, menyayangkan sikap tersebut.
“Kami sudah mengirimkan pesan resmi untuk meminta klarifikasi terkait mekanisme iuran, besaran, penggunaan, hingga laporan keuangan komite. Sayangnya, pihak sekolah belum memberikan jawaban. Padahal, berdasarkan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, masyarakat berhak tahu,” tegasnya.
Pengamat pendidikan menilai, praktik ini bisa dikategorikan sebagai pelanggaran aturan sekaligus maladministrasi. Sebab, sekolah negeri dibiayai APBN dan APBD melalui BOS serta dana operasional lainnya.
“Jika ada pungutan terselubung, maka itu jelas menyalahi prinsip pendidikan gratis di sekolah negeri. Bahkan bisa masuk ranah maladministrasi dan berpotensi menjadi dugaan pungutan liar (Pungli),” ujar seorang pemerhati kebijakan pendidikan di Sumbar.
Tuntutan Publik
Kasus ini tidak bisa dianggap sepele. Orang tua siswa menuntut transparansi, keadilan, dan kepatuhan hukum. Sementara BPI KPNPA RI Sumbar menegaskan akan membawa persoalan ini ke Dinas Pendidikan Provinsi Sumbar, Ombudsman, hingga aparat penegak hukum jika tidak ada penyelesaian yang jelas.
“Kami mendukung partisipasi masyarakat dalam pendidikan, tapi bukan dengan cara yang menyalahi aturan. Pendidikan harusnya meringankan beban orang tua, bukan malah menambah masalah,”
Catatan Redaksi: Polemik ini diharapkan menjadi momentum bagi pemerintah daerah dan pusat untuk memperketat pengawasan praktik penggalangan dana di sekolah. Jangan sampai semangat gotong-royong pendidikan berubah menjadi pungutan yang membebani masyarakat. (*/Redaksi)