JAKARTA, ALINIANEWS.COM — Pemerintah bersiap memperketat pengawasan terhadap dapur umum program Makan Bergizi Gratis (MBG). Presiden Prabowo Subianto dikabarkan telah menginstruksikan agar setiap Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) dilengkapi alat rapid test untuk mendeteksi kemungkinan makanan terkontaminasi sebelum dibagikan ke masyarakat.
Langkah ini diambil setelah serangkaian insiden keracunan massal yang sempat mengguncang sejumlah daerah pelaksana MBG. Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, mengatakan bahwa seluruh dapur SPPG ke depan akan memiliki alat rapid test untuk memastikan keamanan makanan.
“Instruksi presiden bahwa seluruhnya nanti akan melakukan seperti itu,” ujar Dadan di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (1/10/2025).
SPPG Polri Jadi Contoh
Dadan mencontohkan dapur SPPG yang dibangun oleh Polri. Menurutnya, dapur-dapur tersebut tidak pernah mengalami kasus keracunan karena telah menggunakan sistem kontrol yang ketat, termasuk rapid test makanan.
“Pertama, seluruh bangunan yang dibangun oleh Polri itu kan standarnya bagus ya. Kemudian yang kedua, mereka melakukan rapid test sebelum makanan itu diedarkan,” kata Dadan.
Ia menyebut, Presiden Prabowo ingin agar standar yang diterapkan di SPPG Polri diadopsi oleh seluruh satuan pelaksana di berbagai daerah.
“Pak Presiden sudah memerintahkan agar setiap SPPG memiliki alat rapid test yang bisa dilakukan untuk menguji makanan yang sudah dimasak sebelum diedarkan,” ujarnya.
Menurut Dadan, langkah ini juga menjadi tindak lanjut dari kasus keracunan ratusan siswa penerima MBG di Banggai, Sulawesi Tengah, yang diduga disebabkan oleh pemasok bahan pangan.
“Terkait dengan kejadian di Banggai, di mana pemasok ini sangat penting, maka seleksi terhadap supplier ini juga perlu dilakukan,” ungkapnya.
Apresiasi DPR: Dapur Polri Tak Ada Kasus
Sikap BGN tersebut mendapat perhatian dari anggota Komisi IX DPR RI, Irma Suryani Chaniago. Dalam rapat kerja bersama BGN dan Kementerian Kesehatan, Irma mengungkap bahwa dapur MBG di bawah koordinasi Polri belum pernah tercatat mengalami kasus keracunan.
“Kalau menurut saya, nggak penting mau politisi maupun Polri, mau TNI mau siapa pun yang mempunyai dapur, tapi yang penting itu tanggung jawabnya,” kata legislator NasDem itu.
Irma menuturkan, berdasarkan informasi yang ia peroleh, Polri memiliki sekitar 600 SPPG yang seluruhnya beroperasi tanpa insiden.
“Saya punya informasi kalau Polri itu punya 600 SPPG loh, mohon maaf mungkin saya salah, tapi saya dapat informasi itu,” ujarnya.
“Tapi saya juga dapat informasi bahwa dapur yang di bawah Polri itu nggak ada yang berkasus karena dapurnya sesuai dengan standar,” tambahnya.
Perpres Tata Kelola MBG Segera Terbit
Dadan Hindayana memastikan pemerintah akan segera menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang tata kelola pelaksanaan MBG. Aturan itu, kata Dadan, akan memperkuat koordinasi lintas lembaga agar peristiwa keracunan tidak kembali terjadi.
“Pemerintah akan menerbitkan peraturan presiden (perpres) yang mengatur, antara lain, penguatan koordinasi lintas lembaga dalam pelaksanaan MBG agar peristiwa serupa tak terulang,” katanya.
Ia menegaskan, meski beberapa daerah sempat menetapkan keracunan MBG sebagai kejadian luar biasa (KLB), program makan bergizi tetap akan dilanjutkan dengan pengawasan yang lebih ketat.
Pakar: Rapid Test Bukan Solusi Tunggal
Pengamat Kebijakan Kesehatan dari Griffith University Australia, Dicky Budiman, menyambut baik rencana penerbitan perpres dan penggunaan rapid test. Namun, ia mengingatkan agar kebijakan tersebut tidak berhenti pada level instrumen teknis semata.
“Lebih baik terlambat daripada tidak ada [aturan],” kata Dicky.
“Tapi aturan itu harus berisi desain sistem dan standar teknis yang menyatukan standar lintas kementerian dan lembaga.”
Dicky menilai, rapid test hanyalah langkah parsial yang tidak bisa menggantikan sistem keamanan pangan yang menyeluruh.
“Andaikata hanya mengandalkan rapid test, saya pesimis kasus keracunan bakal berhenti karena rapid test hanya memotret sebagian kecil bahaya,” ujarnya.
“Sementara mayoritas risiko ditentukan oleh desain prosesnya, bahan baku, suhu, kehigienisan, dan waktu distribusi.”
Menurut Dicky, rapid test hanya efektif mendeteksi jenis patogen tertentu seperti Salmonella atau toksin jamur. Ia mencontohkan praktik di Amerika Serikat, di mana rapid test hanya digunakan sebagai alat screening awal yang kemudian diintegrasikan ke dalam sistem penilaian risiko pangan.
“Kita harus membangun sistem… Jangan menggantungkan keselamatan pada rapid test. Akan berisiko, bahkan cenderung berbahaya kalau dijadikan tameng tanpa perbaikan sistem,” tegasnya.
“Dia [rapid test] bukan substitusi dari sistem yang seharusnya dibangun.”
Ahli Gizi: Fokus ke Pelatihan Juru Masak
Pandangan senada datang dari Guru Besar Gizi IPB, Ali Khomsan. Ia mengakui rapid test dapat membantu menjaga keamanan pangan, tetapi menekankan bahwa solusi utama terletak pada kapasitas manusia di dapur.
“Rapid test bisa membantu menjaga keamanan pangan, tapi bukan solusi utama,” kata Ali.
“Kalau yang dilatih itu adalah penjamah makanan atau pemasak makanan, maka dampaknya akan sangat besar dalam menyediakan panganan yang baik.”
Menurutnya, pelatihan keamanan pangan bagi juru masak dan pengolah bahan pangan justru menjadi investasi paling efektif dalam mencegah keracunan makanan.
Menjaga Kepercayaan Publik
Instruksi Presiden Prabowo untuk melengkapi dapur MBG dengan rapid test menjadi sinyal bahwa pemerintah berupaya merespons cepat persoalan yang mencoreng citra program unggulan tersebut. Namun, para ahli menegaskan bahwa keselamatan gizi warga tidak cukup dijaga dengan alat, tetapi dengan sistem yang transparan, disiplin, dan manusia yang terlatih.
Sebagaimana disampaikan Dicky Budiman, “Rapid test hanyalah mata kecil dalam rantai panjang keamanan pangan.”
Sebuah pengingat bahwa keberhasilan program Makan Bergizi Gratis sejatinya bergantung pada kualitas pengelolaan, bukan sekadar alat pendeteksi bahaya. (*/REL)