Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Hasto Kristiyanto menunjukkan nota pembelaan yang ia akui tulis sendiri di ruang sidang, Jakarta Pusat, 10 Juli 2025. Foto/Jonathan Simanjuntak
JAKARTA, ALINIANEWS.COM — Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, menyatakan bahwa kasus hukum yang menjeratnya merupakan bentuk kriminalisasi politik yang dikemas dalam rekayasa hukum demi melemahkan sikap kritis partainya terhadap kekuasaan.
Pernyataan ini disampaikan Hasto saat membacakan pleidoi atau nota pembelaan dalam sidang lanjutan kasus dugaan suap dan perintangan penyidikan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta Pusat, Kamis (10/7/2025). Dalam sidang yang berlangsung pukul 11.30 WIB tersebut, Hasto membacakan langsung pleidoi setebal 108 halaman yang ia tulis sendiri.
“Awalnya pada persidangan tahun 2020 tidak ada amal putusan yang melibatkan diri saya. Proses daur ulang kasus tersebut menurut saya menjauhkan hukum dari kemanusiaan,” ujar Hasto di hadapan majelis hakim.
Dalam pembelaannya, Hasto menyebut kasus yang menyeret namanya sebagai bentuk pembalasan terhadap sikap politiknya, terutama penolakannya terhadap kehadiran tim Israel dalam Piala Dunia U-17. Ia menilai kriminalisasi ini tak lepas dari dinamika politik menjelang Pilkada serentak 2024. “Sementara saya menerima kriminalisasi utuh yang salah satunya disebabkan oleh penolakan terhadap Israel, menjadikan proses gerak ulang kasus ini sebagai konsekuensi atas sikap politik yang saya ambil,” ucapnya.
Di hadapan majelis hakim, Hasto menyampaikan tekadnya untuk tidak menyerah. “Saya berdiri di sini dengan semangat yang diwariskan oleh mereka yang tak pernah surut untuk kemuliaan bangsa dan negara, serta semangat untuk tidak tunduk pada ketidakadilan; untuk tidak menyerah pada hukum yang tunduk pada kekuasaan,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa sejarah Indonesia dibangun atas dasar keberanian melawan ketidakadilan. “Lebih dari jutaan jiwa telah dipersembahkan, bukan hanya untuk mendirikan negara, tetapi untuk menjaga martabat bangsa, menegakkan kebenaran, dan mewujudkan keadilan,” ujar Hasto.
Dalam pleidoinya, Hasto menolak tudingan bahwa dirinya terlibat dalam pendanaan suap kepada Komisioner KPU saat itu, Wahyu Setiawan, agar Harun Masiku dapat melenggang ke DPR lewat mekanisme pergantian antarwaktu (PAW). Ia menyebut barang bukti berupa tangkapan layar (screenshot) percakapan yang diduga menunjukkan perannya dalam aliran dana kepada Harun Masiku sebagai rekayasa. “Bukti sepenting itu seharusnya sudah ada dalam fakta persidangan tahun 2020, bukan baru muncul sekarang,” katanya.
Lebih jauh, Hasto menuding adanya manipulasi dalam keterangan saksi-saksi dari KPK yang dihadirkan dalam persidangan. “Saksi KPK hanya memuat asumsi, fiktif, dan juga manipulatif,” katanya tegas.
Menurut Hasto, 13 penyidik yang menjadi saksi fakta tidak memberikan keterangan berdasarkan apa yang mereka lihat atau dengar langsung, melainkan hanya berdasarkan informasi verbal. Ia juga membantah pernah berada di tempat yang sama dengan Harun Masiku sebagaimana yang dituduhkan.
Dalam bagian akhir pleidoinya, Hasto meminta agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera menangkap Harun Masiku agar perkara ini menjadi terang. “Karena itulah, demi keadilan dan fairness, terdakwa di persidangan ini meminta KPK segera menangkap Harun Masiku agar menjadi terang pokok perkara suap tersebut,” ujarnya.
Sebelumnya, Hasto dituntut tujuh tahun penjara dan denda Rp600 juta subsidair enam bulan kurungan oleh Jaksa Penuntut Umum KPK. Ia dianggap melanggar Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP, serta Pasal 5 Ayat (1) UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Dalam persidangan hari ini, tampak hadir juga mantan Gubernur Jawa Tengah sekaligus capres 2024, Ganjar Pranowo, yang memberikan dukungan langsung kepada Hasto.
Kini publik menanti keputusan majelis hakim atas perkara yang bukan hanya menyangkut persoalan hukum, tapi juga menyingkap relasi rumit antara kekuasaan, hukum, dan politik dalam demokrasi Indonesia. (*/rel)