spot_img
spot_img

ESAI SASTRA: Mengapresiasi Puisi “Kembalilah, Jadwalkan Ulang Perjalananmu”

Penyair Ewith Bahar. (Foto Ist) 

 

Oleh YURNALDI, penyair yang wartawan utama, sastrawan penerima apresiasi 40 berkarya dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikdasmen Tahun 2025

Iklan

Edith Bahar, salah seorang penyair Indonesia yang karyanya mendunia dan terbit dalam banyak bahasa, ketika tampil dalam media sosial Facebook, saya tertarik untuk mengapresiasinya. Puisi tersebut sebagai berikut:

Anak muda,
Apakah sesuatu yang mengamuk di dalam dadamu itu?
Kau nampaknya belum cukup matang dan tangguh untuk mengendalikan seekor naga kecil dan sebentuk monster yang kini berumah di ujung kakimu
Yang menghela langkahmu ke arah-arah yang belum kau kenali

Bung, hidup tidak mesti terburu-buru
Lautan besar ini tak bisa ditempuh hanya dengan perahu
Kau telah memulai perjalanan dari arah yang keliru
Bahkan sampai kini kau belum paham daratan yang dituju

Kembalilah, jadwalkan ulang perjalananmu!

Puisi sering kali menjadi medium refleksi, tempat penyair menyalurkan renungan hidup melalui bahasa simbolik dan kiasan yang kaya makna. Puisi yang berjudul “Kembalilah, jadwalkan ulang perjalananmu” menampilkan nada nasihat yang tegas namun penuh kelembutan, seolah lahir dari perjumpaan antara pengalaman hidup seorang yang matang dengan kegelisahan seorang anak muda yang masih mencari arah.

Pada bait pertama, penyair mengajukan pertanyaan retoris:

“Apakah sesuatu yang mengamuk di dalam dadamu itu?”

Pertanyaan ini menjadi pintu masuk untuk menggambarkan kegelisahan, hasrat, dan gejolak emosi dalam diri seorang muda. Ungkapan “naga kecil” dan “monster” yang berumah di ujung kaki merupakan metafora kuat untuk melukiskan kekuatan liar dalam jiwa: nafsu, ambisi, atau dorongan untuk bergerak cepat tanpa kendali. Simbol ini memperlihatkan bahwa masa muda adalah fase ketika energi begitu melimpah, tetapi belum sepenuhnya diarahkan.

Pada bait kedua dan ketiga, penyair membawa pembaca ke metafora perjalanan:

 “Lautan besar ini tak bisa ditempuh hanya dengan perahu.”

Hidup digambarkan sebagai lautan luas yang tak mungkin diseberangi dengan cara sederhana. Kehidupan membutuhkan bekal, perencanaan, dan strategi. Anak muda dalam puisi ini dikritik karena memulai dari “arah yang keliru” dan bahkan belum memahami “daratan yang dituju”. Ini adalah sindiran halus terhadap mereka yang tergesa-gesa mengejar sesuatu tanpa memikirkan tujuan.

Nada Nasihat dan Kehangatan

Kehadiran kata “Bung” memberikan nuansa khas: ada keakraban, ada persaudaraan, sekaligus ketegasan. Penyair bukan sekadar menggurui, melainkan berbicara dari hati, seolah seorang kakak atau guru yang hendak menyelamatkan adiknya dari kesalahan yang sama.

Bait berikut: “Kembalilah, jadwalkan ulang perjalananmu!” menjadi klimaks dari puisi. Bait tersebut mengandung ajakan untuk refleksi, introspeksi, dan keberanian mengubah arah. Tidak ada kata terlambat untuk menata ulang hidup.

Yang pasti, menurut hemat saya, puisi Ewith ini kaya akan pesan moral: Pertama, ketenangan lebih berharga daripada tergesa. Kedua, hidup memerlukan arah dan tujuan yang jelas. Ketiga, kesalahan awal bukan akhir, masih ada kesempatan untuk kembali.

IMG 20250903 183006

Salah satu buku kumpulan puisi Ewith Bahar

Secara estetik, puisi ini sederhana namun sarat makna. Metafora naga, monster, laut, perahu, dan daratan menjadikannya indah sekaligus tajam.

Dari sisi pesan, ia menghadirkan nilai pendidikan moral, terutama bagi anak muda yang sedang mencari arah hidup. Dengan demikian, puisi ini bukan sekadar karya sastra, tetapi juga menjadi cermin reflektif yang menuntun pembaca untuk merenungkan perjalanan hidupnya sendiri.*

Padang, 3 September 2025.

spot_img

Latest news

- Advertisement -spot_img

Berita Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses