ALINIANEWS.COM — Rakyat patut murka. Wakil rakyat yang sudah bergaji besar, dilengkapi berbagai tunjangan fantastis, bahkan diberi fasilitas melimpah, masih juga tega menggerogoti dana Corporate Social Responsibility (CSR) dari BI dan OJK. Dana yang seharusnya untuk kepentingan publik—fasilitas umum, pemberdayaan masyarakat, bantuan sosial—malah diputar menjadi rumah makan, showroom, deposito, bahkan properti pribadi.
Ini bukan sekadar penyalahgunaan wewenang, melainkan bentuk kerakusan politik yang melecehkan akal sehat. Bagaimana mungkin mereka yang disebut “terhormat” tega menilap uang sosial demi memperkaya diri? Sementara rakyat di dapil mereka masih bergelut dengan kemiskinan, pendidikan yang tak merata, dan layanan kesehatan yang compang-camping.
Kasus ini memperlihatkan bagaimana DPR menggunakan kewenangan strategisnya terhadap BI dan OJK untuk menekan, bahkan memaksa, agar dana CSR disalurkan lewat yayasan abal-abal. Itu bukan hanya korupsi, melainkan persekongkolan jahat yang sistematis.
Kritik keras mesti diarahkan bukan hanya kepada dua nama yang kini jadi tersangka, tapi juga kepada puluhan legislator yang disebut-sebut menikmati aliran dana. KPK jangan berhenti pada dua orang, tapi harus mengungkap semua nama, tanpa pandang bulu. Inilah saatnya publik menagih integritas: jangan ada satupun yang berlindung di balik fraksi atau jabatan.
Lalu, apa tindakan yang harus diambil?
Pertama, penegakan hukum tanpa kompromi. KPK wajib menyeret semua pihak yang terlibat, sekalipun jumlahnya puluhan anggota DPR lintas fraksi.
Kedua, pengembalian kerugian negara. Seluruh dana yang ditilep harus ditarik kembali. Tak cukup dengan hukuman penjara; mereka wajib memulihkan uang rakyat yang dicuri.
Ketiga, sanksi politik. Partai politik harus berani memberi sanksi keras, bahkan memecat kader yang terbukti rakus. Jika tidak, partai-partai itu sama saja merestui perilaku korup kadernya.
Keempat, blacklist politik. Mereka yang terlibat seharusnya diblacklist dari pencalonan legislatif berikutnya. Tidak pantas lagi orang-orang rakus ini diberi kesempatan duduk di kursi rakyat.
Apakah mungkin? Sangat mungkin—asal ada kemauan politik. KPU bersama Bawaslu dapat membuat aturan ketat bahwa calon legislatif yang pernah terseret kasus korupsi, apalagi sudah jadi tersangka, tidak boleh lagi maju.
Wakil rakyat semacam ini bukanlah wakil rakyat, melainkan wakil rakus. Rakyat sudah cukup lama dibohongi. Sudah saatnya kita menutup pintu Senayan dari orang-orang yang menjadikan kekuasaan sebagai ladang pribadi. (YURNALDI)