ALINIANEWS.COM — Surat resmi KPK per 5 Juni 2025 lalu bukan sekadar imbauan normatif. Ia adalah peringatan keras yang dibungkus legalitas dan kemarahan institusional atas membusuknya praktik penyusunan anggaran di daerah. Bagi DPRD dan pemerintah daerah yang masih merasa nyaman mempermainkan dana pokok-pokok pikiran (pokir) dan perjalanan dinas (perjadin), surat itu adalah sirene darurat. Bila tak diindahkan, konsekuensinya bisa berujung rombongan masuk bui—seperti sejarah yang telah banyak ditorehkan KPK.
Dalam bahasanya yang tegas, KPK menyebut masih kuatnya potensi korupsi dalam penyusunan APBD. Dana pokir, yang semestinya sarana artikulasi aspirasi rakyat, berubah fungsi menjadi ATM politik dan ajang transaksi gelap antara legislatif dan eksekutif. Begitu juga perjadin yang makin menjijikkan: dibungkus seminar, disisipkan plesir; di atas kertas berbentuk lokakarya, dalam kenyataan jadi pesta.
KPK dengan lugas menyebut bahwa program di luar RPJMD harus dihentikan, dan pengaturan alokasi anggaran per anggota DPRD adalah praktik koruptif terselubung. Ini bukan lagi dugaan. KPK sudah melihat polanya berulang di banyak daerah. Surat ini adalah bentuk akhir dari kesabaran sistemik sebelum langkah penindakan dimulai.
Lebih dari itu, penggunaan SIPD-RI secara penuh dan wajib kini menjadi alat KPK mengawasi dari balik layar. Tidak ada lagi ruang bagi permainan anggaran yang tidak terdokumentasi. Setiap alokasi, setiap nota, setiap justifikasi dana harus bisa ditelusuri—atau siap-siap diseret dalam penyelidikan.
Untuk Sumatera Barat dan daerah lain yang merasa “aman-aman saja”, ini pesan langsung: jika masih bermain api dengan dana pokir dan perjadin, jangan salahkan KPK jika tangannya dingin menusuk jantung jaringan korupsi lokal. Dalam banyak kasus, kepala daerah, pejabat OPD, hingga anggota DPRD telah dijadikan pelajaran. Dan KPK tak akan segan mengulanginya.
Surat KPK ini adalah cermin. Pertanyaannya: apakah pemimpin daerah dan wakil rakyat berani berkaca, atau memilih memecah cermin lalu berdalih langit runtuh?
Rakyat tak butuh seminar, workshop, atau sosialisasi yang berakhir dengan kuitansi fiktif. Rakyat hanya ingin dana publik digunakan jujur, masuk akal, dan sampai ke tujuan. Jika tak mampu mewujudkan itu, maka wajar bila penjara menjadi tempat pulang yang layak.(Yurnaldi)