spot_img
spot_img

EDITORIAL: Uang Rakyat yang Menguap di Ruang Rapat Wakil Rakyat

ALINIANEWS.COM — Saat rakyat berhemat untuk kebutuhan dasar, wakilnya justru “over budget” dalam urusan perjalanan dinas. Laporan BPK RI Tahun 2024 mengungkap sebuah fakta pahit: sebanyak Rp352 juta uang rakyat menguap hanya karena kesalahan tafsir aturan, yang berujung pada kelebihan pembayaran uang representatif kepada seluruh anggota DPRD Kota Payakumbuh. Demikian dilaporkan alinianews.com hari ini.

Seharusnya, dalam sistem yang sehat, setiap rupiah anggaran publik dijaga ketat, diarahkan untuk program yang menyentuh kepentingan rakyat: pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan perlindungan sosial. Namun nyatanya, celah regulasi dimanfaatkan menjadi keuntungan pribadi. Dengan dalih “tafsir berbeda”, uang yang seharusnya dibatasi hanya untuk pimpinan DPRD (Rp250 ribu per hari), ikut dibagi ke seluruh anggota, meskipun Perwako telah jelas menetapkan batas Rp150 ribu per hari bagi mereka.

Ini bukan sekadar persoalan administrasi. Ini adalah kegagalan kolektif dalam menjaga integritas anggaran daerah. Kesalahan yang berlangsung selama setahun penuh, tanpa koreksi, menunjukkan mandulnya pengawasan internal dan lemahnya fungsi Inspektorat Daerah. Yang lebih ironis, Sekretariat DPRD—bukan hanya sebagai fasilitator, tetapi juga “pelaksana penafsiran”—ikut menyetujui kebijakan ini dengan bersandar pada argumentasi status hukum dalam UU, bukan aturan teknis yang lebih relevan.

Iklan

Situasi ini menampar akal sehat publik. Bagaimana bisa DPRD yang seharusnya mengawal efisiensi anggaran, justru menikmati uang lebih dari batas yang ditetapkan? Apa bedanya dengan pemborosan yang disengaja? Bagaimana bisa pimpinan dan anggota menerima tunjangan setara, padahal fungsi dan tanggung jawabnya berbeda? Di sinilah urgensi kejujuran dan kedewasaan dalam mengelola uang negara diuji.

BACA JUGA  EDITORIAL: Kedaulatan Data dalam Bayang-Bayang Kesepakatan Dagang

Temuan BPK ini juga membuka pertanyaan lanjutan: siapa yang bertanggung jawab? Apakah uang yang sudah terlanjur dibayarkan akan dikembalikan? Tanpa sanksi yang jelas, tanpa pengembalian yang tegas, maka praktik semacam ini hanya akan terus berulang. DPRD akan kehilangan legitimasi moral, dan rakyat akan makin kehilangan kepercayaan.

Kepala daerah, dalam hal ini Wali Kota Payakumbuh, tidak bisa tinggal diam. Ini saatnya melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja dan integritas Sekretariat DPRD dan Badan Keuangan Daerah. Ketegasan kepala daerah dalam menegakkan aturan akan menjadi sinyal penting bahwa tata kelola keuangan tidak bisa lagi ditawar-tawar oleh kepentingan politik lokal.

Kasus ini harus menjadi titik balik. Bahwa anggaran publik bukan ruang kelabu yang bisa dinegosiasikan lewat celah aturan. Ia adalah amanah rakyat, yang harus dikelola dengan etika, transparansi, dan tanggung jawab penuh.

Wali Kota Payakumbuh sebagai otoritas pembuat Perwako perlu menjadikan temuan ini sebagai refleksi atas lemahnya eksekusi aturan daerah. Jika tidak ada evaluasi menyeluruh, maka Perwako hanya akan menjadi “kertas mati” yang tak berdaya melawan kepentingan elite politik lokal.

Mengacu ke UU No. 23 Tahun 2014 tanpa memperhatikan Perwako yang lebih teknis dan bersifat eksekutif menunjukkan pengabaian terhadap asas hirarki regulasi. UU memberi status “pejabat daerah”, tetapi Perwako menetapkan nominal teknis uang harian. Pemilihan tafsir yang menguntungkan menjadi sinyal praktik anggaran yang oportunistik.(YURNALDI)

BACA JUGA  EDITORIAL: Diam UGM, Ujian Integritas Akademik
spot_img

Latest news

- Advertisement -spot_img

Berita Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses