Foto ilustrasi tanaman pangan. (Yurnaldi/alinianews.com)
ALINIANEWS.COM — Kasus dugaan penyimpangan yang menyeret Kepala Dinas Perkebunan Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Sumatera Barat, Febrina Trisusila Putri, kembali membuka luka lama birokrasi: korupsi yang ditutup-tutupi, pengawasan internal yang lumpuh, dan aparat penegak hukum yang seperti tak berkutik.
Berawal dari surat anonim berkop resmi dinas yang memuat 14 poin tudingan mulai dari ketidakhadiran pimpinan, nepotisme, penyalahgunaan rekanan, hingga pungutan liar, kasus ini menyentuh bukan hanya integritas personal, tetapi mencerminkan rusaknya sistem pengawasan internal. Ironisnya, hingga kini, belum ada langkah tegas dari Inspektorat Provinsi Sumatera Barat. Padahal, lembaga ini seharusnya menjadi garda pertama dalam menegakkan disiplin dan integritas ASN.
Ketiadaan reaksi dari Inspektorat, apalagi dari Kejaksaan Tinggi Sumbar, justru memperkuat dugaan publik bahwa sistem pengawasan kita sedang tidak berfungsi. Ketika pengawasan gagal, maka praktik-praktik menyimpang tumbuh subur dalam bayang-bayang kekuasaan. Apalagi jika yang bersangkutan merasa dilindungi oleh kedekatan politik atau kekosongan keberanian hukum.
Penggunaan kendaraan dinas oleh pihak keluarga, pemotongan tunjangan ASN, hingga perjalanan dinas yang tidak relevan dengan kepentingan institusi adalah bentuk penyimpangan terang-terangan yang tidak bisa ditoleransi. Ini bukan sekadar soal etika, tetapi sudah menyentuh ranah pidana. Fakta bahwa belum ada klarifikasi atau tindakan konkret memperlihatkan betapa lemah dan takutnya birokrasi terhadap dirinya sendiri.
Yang lebih memprihatinkan, praktik semacam ini secara langsung merugikan masyarakat. Anggaran yang seharusnya untuk mendukung petani, meningkatkan produksi pangan, dan membangun ketahanan hortikultura, justru dikorup dalam bentuk fasilitas pribadi, honor keluarga, dan proyek siluman.
Kita menuntut Gubernur Sumatera Barat, Sekretaris Daerah, dan Kepala Inspektorat untuk tidak berdiam diri. Publik berhak mendapat penjelasan, bukan pengalihan isu. Jika tidak ada penindakan, maka publik akan menilai pemerintah daerah turut serta dalam pembiaran, bahkan mungkin perlindungan terhadap perilaku korup.
Surat anonim itu mungkin tak menyebut nama pengirim, tapi pesannya jelas: birokrasi kita sedang sakit. Kini tinggal pertanyaan, apakah para pemegang amanah berani menyembuhkan atau justru membiarkan penyakit ini membusuk lebih dalam.(Yurnaldi)