PADANG, ALINIANEWS.COM — Publik Tanah Datar dan Sumatera Barat kembali dikejutkan oleh temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait penggunaan anggaran bahan bakar minyak (BBM) Pemerintah Kabupaten Tanah Datar. Temuan ini bukan sekadar soal administrasi belaka, tetapi membuka tabir persoalan mendasar tentang lemahnya tata kelola keuangan daerah.
Bagaimana tidak, BBM yang dibeli menggunakan uang rakyat, yang semestinya digunakan untuk kendaraan dinas dan kepentingan resmi pemerintahan, justru sebagian dialokasikan sebagai “alat jamuan” untuk tamu pemerintah daerah. Praktik ini jelas melenceng, baik secara moral maupun hukum.
Berdasarkan laporan resmi, Pemkab Tanah Datar menganggarkan Rp8,26 miliar untuk BBM dan pelumas sepanjang tahun 2024. Realisasi mencapai Rp7,34 miliar atau sekitar 88,89 persen. Dari total tersebut, Sekretariat Daerah menghabiskan Rp2,86 miliar melalui mekanisme distribusi kupon BBM. Kupon ini terbagi menjadi tiga seri: Bon Seri A untuk rumah dinas Bupati, Bon Seri B untuk Wakil Bupati, dan Bon Seri E untuk kebutuhan umum di Sekretariat.
Masalah muncul ketika BPK menemukan bahwa sebagian kupon BBM tersebut diberikan kepada tamu pemerintah daerah yang tidak sedang melaksanakan kegiatan resmi Pemda. Artinya, anggaran daerah yang seharusnya diperuntukkan bagi kepentingan dinas, malah dimanfaatkan untuk urusan non-dinas. Ini adalah penyimpangan, apa pun alasannya.
Pemkab Tanah Datar berkilah bahwa praktik tersebut diatur dalam Peraturan Bupati Tanah Datar Nomor 30 Tahun 2024. Sayangnya, dalih ini tidak bisa menutupi fakta bahwa aturan lokal tersebut bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, yakni Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2020 dan Permendagri Nomor 7 Tahun 2006, yang secara tegas mengatur bahwa BBM hanya untuk kendaraan dinas dan kepentingan resmi, bukan untuk tamu atau kegiatan pribadi.
Celakanya, fenomena seperti ini bukan hanya terjadi di Tanah Datar. Di berbagai daerah, kerap muncul pola serupa: peraturan lokal dibuat atau diubah sedemikian rupa untuk “melegalkan” praktik-praktik yang jelas melenceng dari aturan nasional. Ini adalah bentuk akal-akalan birokrasi yang justru merusak prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Jika praktik seperti ini terus dibiarkan, dampaknya tidak kecil. Pertama, kepercayaan
publik terhadap pemerintah daerah akan terus terkikis. Kedua, anggaran yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan pelayanan publik, memperbaiki infrastruktur, atau membantu masyarakat, justru bocor untuk hal-hal yang tidak produktif. Ketiga, praktik ini membuka celah bagi penyimpangan anggaran yang lebih besar di masa depan.
Sudah saatnya Pemerintah Kabupaten Tanah Datar melakukan pembenahan serius. Revisi Perbup Tanah Datar agar sejalan dengan aturan nasional adalah langkah pertama yang tidak bisa ditawar. Selain itu, pengawasan internal, khususnya oleh Inspektorat Daerah, harus diperkuat dan diperketat. Setiap rupiah uang rakyat harus dipertanggungjawabkan, termasuk belanja BBM.
DPRD sebagai representasi rakyat juga tidak boleh tinggal diam. Fungsi pengawasan harus dijalankan dengan tegas dan terbuka. Di sisi lain, masyarakat perlu terus mengawasi dan mengkritisi jalannya pemerintahan, agar kasus-kasus penyalahgunaan anggaran seperti ini tidak terulang.
Uang rakyat bukan alat jamuan, melainkan amanah besar yang harus dikelola sebaik-baiknya untuk kepentingan publik. Mulailah perbaikan tata kelola dari hal-hal yang selama ini dianggap sepele, seperti penggunaan kupon BBM. Dari sana, kepercayaan publik bisa dipulihkan, dan integritas pemerintahan daerah bisa kembali ditegakkan. (Yurnaldi)