ALINIANEWS.COM — Gelombang aksi yang memuncak, fasilitas publik yang rusak, hingga kemarahan rakyat yang meledak, semuanya berpangkal pada satu hal: ketiadaan pemimpin di tengah rakyatnya. Ironis, di saat suara rakyat membuncah, justru pejabat yang mestinya hadir malah menghilang. Sebagian kabur dari kantor, bahkan ada yang memilih “berlindung” ke luar negeri.
Inikah wajah kepemimpinan yang kita biayai dengan gaji, tunjangan, dan fasilitas serba mewah dari pajak rakyat? Saat negara tenang, mereka dengan gagah berpose di depan kamera. Namun begitu krisis muncul, keberanian itu lenyap. Mereka membiarkan aparat menjadi tameng, seolah urusan bisa diselesaikan dengan barisan bersenjata dan kawat berduri.
Padahal, rakyat tidak butuh aparat yang menghalau. Mereka butuh pemimpin yang mendengar, mengayomi, dan hadir memberi simpati. Betapa elegan jika ada pejabat yang berani berdiri di tengah massa, menenangkan dengan kata-kata yang menentramkan. Narasi damai jauh lebih ampuh daripada ancaman, apalagi caci maki.
Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya. Ada pejabat yang bahkan mengejek rakyat yang mengadu melalui pesan singkat atau media sosial. Sikap feodal itu bukan hanya melukai hati rakyat, tapi juga memperlihatkan betapa dangkalnya kesadaran mereka tentang makna kepemimpinan. Rakyat bukan pengemis belas kasihan, melainkan pemilik kedaulatan yang membiayai hidup para pejabat.
Kemarahan publik yang berujung pada perusakan fasilitas seharusnya tidak perlu terjadi, jika sejak awal pejabat membuka ruang dialog. Menghindar hanya menimbulkan kecurigaan, memperlebar jurang ketidakpercayaan. Lebih parah lagi, absennya kepemimpinan di tengah krisis memperlihatkan bahwa banyak elite kita hanyalah administrator bermental pengecut, bukan pemimpin sejati.
Pemimpin sejati tidak hanya hadir saat nyaman, tetapi justru muncul di saat sulit. Ia tidak bersembunyi ketika rakyat marah, melainkan berdiri paling depan, menyerap aspirasi, dan menyalurkan solusi.
Kini, saat krisis kepercayaan makin dalam, rakyat menunggu kehadiran figur yang berani. Bukan sekadar pejabat yang fasih berpidato dari balik layar, melainkan pemimpin yang menatap rakyat mata ke mata, mengakui penderitaan mereka, dan menawarkan jalan keluar dengan kejujuran.
Jika tidak, negeri ini akan terus dipimpin oleh bayangan: pejabat yang bergaji besar, tapi menghilang ketika dibutuhkan. Dan sejarah akan mencatat mereka bukan sebagai negarawan, melainkan sebagai pengecut. (YURNALDI)