spot_img
spot_img

EDITORIAL: OTT, Kritik, dan Ujian Konsistensi Restorasi

ALINIANEWS.COM — Pernyataan Ketua Umum Partai NasDem, Surya Paloh, pasca penangkapan Bupati Kolaka Timur oleh KPK patut dibaca dengan kacamata jernih—dan sedikit curiga. Resminya, ia mempertanyakan terminologi “OTT” serta mengeluhkan nuansa “drama” dalam penegakan hukum. Tetapi waktunya terlalu kebetulan: sehari setelah kadernya diciduk, dan bahkan hanya beberapa jam setelah sang bupati hadir di forum partai.

Hak mengkritik KPK tentu tidak pernah dilarang. Lembaga antirasuah pun bukan malaikat yang kebal evaluasi. Namun, publik juga punya hak untuk mempertanyakan: apakah kritik ini benar-benar murni untuk membenahi prosedur hukum, atau sekadar refleks politik ketika “orang sendiri” tersandung?

Menyeret Komisi III DPR untuk “memanggil” KPK di tengah kasus yang menimpa kader sendiri, walau prosedural, terasa seperti langkah yang menempatkan kepentingan partai di atas kepentingan publik. Apalagi, soal lokasi berbeda dalam OTT bukanlah kekeliruan prosedural. Hukum tidak mensyaratkan semua tersangka berada di satu tempat. Jika rangkaian peristiwa dan barang bukti terhubung, OTT tetap sah secara hukum—entah itu di Jakarta, Makassar, atau Kendari.

Iklan

Menyebut OTT sebagai “drama” juga kontradiktif dengan semangat transparansi yang selama ini menjadi tuntutan publik. Tanpa keterbukaan proses, OTT justru rawan menjadi dagang urusan di balik layar. Apa yang disebut “drama” itu, sejatinya adalah bukti bahwa penegakan hukum tak dilakukan diam-diam.

NasDem selalu mengusung jargon “restorasi” dan komitmen antikorupsi. Maka, ujian terberat justru saat kader sendiri terjerat hukum. Konsistensi bukan hanya soal berteriak “berantas korupsi” ketika lawan yang ditangkap, tetapi juga saat kawan sendiri dihadapkan pada bukti dan pasal.

BACA JUGA  Foto Hitam Putih di Ucapan Ultah Gibran dari Prabowo, Kenapa Jadi Sorotan?

Kritik kepada KPK boleh, bahkan perlu. Tetapi memilih momen yang tepat dan menjaga jarak dari kepentingan politik adalah kunci agar kritik itu tidak berubah menjadi tameng pembelaan. Publik menilai bukan dari kalimat yang diucapkan, tetapi dari konteks dan keberpihakan yang terbaca. Dalam kasus ini, konteks lebih berbicara daripada retorika. (YURNALDI)

 

spot_img

Latest news

- Advertisement -spot_img

Berita Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses