ALINIANEWS.COM — Sengketa informasi antara BPI KPNPA RI Sumatera Barat dengan Pemprov Sumbar yang kini berujung ke PTUN bukanlah sekadar soal tafsir hukum. Ini adalah potret buram ketakutan birokrasi terhadap transparansi. Ketika rakyat meminta informasi tentang upah pungut, dana pokir, dan bantuan bencana, yang didapat justru perlawanan hukum dari pemerintah.
Padahal UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik tegas menyatakan: informasi publik adalah milik rakyat. Yang dikecualikan harus melalui uji konsekuensi, tertulis, dan jelas dasarnya. Bukan sekadar diklaim “rahasia” oleh kuasa hukum negara.
Lalu, apa yang membuat informasi ini begitu dijaga? Apakah karena datanya kotor? Atau karena takut terungkap bahwa dana publik digunakan secara semaunya? Jika memang bersih dan tertib, mestinya tak ada alasan menutupinya.
Menariknya, dari lima OPD yang diminta informasinya, hanya satu yang memenuhi permintaan sesuai amanat UU. Lainnya memilih membungkam atau berkelit. Bahkan DPRD — lembaga yang mestinya jadi representasi rakyat — ikut-ikutan menolak membuka data pokir, seolah aspirasi rakyat adalah rahasia negara.
Ini bukan lagi ketidaktahuan, tapi mentalitas tertutup. Mental pejabat yang takut dibuka boroknya. Mental birokrasi yang alergi diawasi. Maka langkah menggugat ke PTUN bisa dibaca sebagai bentuk panik yang terselubung rapi dalam jas hukum.
Sayangnya, ini bukan kasus tunggal. Banyak pemerintah daerah yang makin lihai menggunakan hukum sebagai tameng, bukan sebagai alat akuntabilitas. Mereka lebih takut pada sorotan publik daripada pada pelanggaran anggaran itu sendiri.
Di sinilah pentingnya publik mengawal kasus ini. Jika gugatan Pemprov Sumbar dikabulkan, ini bisa jadi preseden buruk: pemerintah bisa menolak memberi informasi semaunya, dan rakyat kembali dibungkam atas nama “rahasia”.
Satu pertanyaan sederhana untuk Pemprov: jika tak ada yang disembunyikan, kenapa takut dibuka?
Kasus ini pertanda bukan semata kebodohan hukum, tapi lebih merupakan: kecemasan untuk menutupi ketidakberesan, dikemas dalam argumen hukum yang dipaksakan.
Mereka takut karena transparansi membuka celah penyelidikan hukum lebih lanjut; akuntabilitas publik menyeret mereka ke meja hijau.
Dan gugatan ke PTUN bukanlah bukti keyakinan hukum, melainkan strategi pengulur waktu dan pengalihan opini, agar publik tidak segera mendapatkan informasi. (Yurnaldi, Pemred alinianew.com)