spot_img
spot_img

EDITORIAL: Mafia Beras, Maling di Dapur Kita

ALINIANEWS.COM — Lagi-lagi publik dipaksa menelan kenyataan pahit: beras—makanan pokok bangsa—telah jadi alat manipulasi oleh segelintir pengusaha rakus. Pengungkapan kasus pengoplosan beras oleh Satgas Pangan Polri menunjukkan betapa lemahnya pengawasan terhadap industri pangan, bahkan terhadap komoditas yang paling mendasar bagi kehidupan rakyat.

Beras medium disulap jadi premium. Label cantik, harga tinggi, tapi isi tak sepadan. Dari 201 ton beras yang disita, semua dikemas rapi dalam merek-merek ternama—Sania, Setra Ramos, Jelita, hingga Anak Kembar. Di balik kemasan itu tersembunyi kebohongan besar: tak sesuai berat, tak sesuai mutu, tak sesuai janji. Inilah dagang model tipu-tipu yang dipelihara oleh sistem yang permisif.

Ini bukan soal selisih dua ribu rupiah per kilo. Ini soal keadilan. Soal dapur rakyat kecil yang dicekik secara diam-diam oleh kepentingan para pengusaha culas. Jika Menteri Pertanian benar, dan kerugian akibat praktik ini bisa menembus Rp99 triliun per tahun, maka kita sedang berhadapan dengan bentuk baru dari penjarahan sistematis terhadap kantong rakyat.

Iklan

Pertanyaannya: ke mana pengawasan negara selama ini? Apakah negara hanya berfungsi ketika kejahatan sudah membusuk dan viral di media?

Penegakan hukum harus dilakukan tanpa tedeng aling-aling. Pasal perlindungan konsumen dan pencucian uang harus ditegakkan tanpa kompromi. Tapi kita tahu, sering kali aktor utama di balik kejahatan pangan ini tak pernah tersentuh. Apakah kali ini akan berbeda? Ataukah kita kembali menyaksikan drama “proses hukum berjalan” yang berujung pada kesepakatan diam-diam?

BACA JUGA  Keputusan Kontroversial Danantara Dikritik Komut PT Pertamina Hulu Energi Denny JA

Jika pengawasan distribusi pangan tetap longgar dan tidak transparan, jangan heran bila mafia beras terus menjamur, karena tahu bahwa mereka bisa bermain aman. Yang dikorbankan selalu sama: rakyat miskin, petani kecil, dan konsumen yang tak punya pilihan selain percaya pada label.

Kita membutuhkan perubahan sistemik. Pengawasan pangan tak cukup dengan sidak dan pernyataan pers. Perlu mekanisme berbasis data, digitalisasi rantai pasok, serta keberanian negara untuk menghadapi kartel pangan yang selama ini diam-diam menggenggam pasar.

Maling di dapur rakyat ini harus diusir. Bukan ditegur. Bukan dinegosiasi. Tapi ditumpas. Karena kalau dapur saja sudah dirampok, apa lagi yang bisa diselamatkan dari negeri ini? (YURNALDI)

spot_img

Latest news

- Advertisement -spot_img

Berita Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses