ALINIANEWS.COM — Kasus korupsi yang kini membelit Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) semakin memperlihatkan wajah asli dari praktik penyalahgunaan kekuasaan di negeri ini: korupsi yang berlapis, sistematis, dan melibatkan jejaring lintas sektor. Nama Susi Mira Dewi Sugiarta (SMDS) selaku Direktur Keuangan PT PE memang menjadi sorotan awal, tetapi jejak perkara ini jelas tidak berhenti pada satu individu atau satu perusahaan saja.
KPK sudah menelusuri keterkaitan PT SMJL dan PT Mega Alam Sejahtera (MAS), serta 15 debitur yang diduga menerima fasilitas kredit bermasalah. Fakta ini membuka tabir bahwa LPEI bukan sekadar lembaga yang “salah kelola”, melainkan ladang bancakan yang dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu untuk meraup keuntungan pribadi dengan dalih mendukung ekspor nasional.
Namun yang lebih mengejutkan adalah temuan mobil Alphard 2023 di tangan seorang anggota DPR. Inilah babak baru yang mestinya menggetarkan publik. Korupsi di LPEI ternyata bukan hanya soal kredit fiktif, tetapi juga tentang aliran uang kotor yang masuk ke ranah politik. Bila benar terbukti, artinya ada pejabat publik yang bukan hanya menerima, tapi juga berperan sebagai penyembunyi sekaligus pemutih aset hasil korupsi.
Keterlibatan unsur legislatif ini menandakan masalah yang jauh lebih dalam: lembaga yang seharusnya mengawasi justru ikut menikmati hasil kejahatan yang harusnya mereka cegah. Maka tidak berlebihan bila publik menaruh kecurigaan, bahwa korupsi LPEI hanyalah satu dari sekian banyak skandal yang bisa mengungkap bagaimana uang rakyat dibajak untuk kepentingan segelintir orang berkuasa.
KPK sudah menegaskan penyelidikan tidak akan berhenti di sini. Tetapi publik menuntut lebih: transparansi penuh, pengungkapan siapa saja penerima manfaat, dan keberanian menyeret oknum DPR yang diduga ikut bermain. Tidak boleh ada kekebalan politik. Tidak boleh ada perlindungan karena status atau jabatan.
Editorial ini menegaskan satu hal: skandal LPEI adalah ujian kesungguhan pemberantasan korupsi di era ini. Jika KPK berhasil menembus tembok politik Senayan, harapan itu masih hidup. Tapi bila kasus ini berhenti hanya pada level direksi dan pengusaha, maka publik patut bertanya: apakah hukum di negeri ini hanya tajam ke bawah, tumpul ke atas? (YURNALDI)