Pemerintah Kabupaten 50 Kota kembali memberi contoh buruk dalam pengelolaan keuangan daerah. Di tengah gencarnya seruan efisiensi anggaran dan peningkatan pelayanan publik, justru anggaran belanja makanan dan minuman menjadi celah penyimpangan yang mencoreng wajah birokrasi. Rakyat menunggu pelayanan yang membaik, bukan perilaku tamak yang terus dipertontonkan di balik meja-meja rapat.
Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Tahun Anggaran 2024 membongkar praktik memalukan ini. Kelebihan pembayaran belanja makanan dan minuman sebesar Rp279 juta bukanlah angka kecil, terlebih 74,6 persen di antaranya justru berasal dari Sekretariat Daerah—lembaga yang seharusnya menjadi teladan dalam tata kelola anggaran.
Ironisnya, penyimpangan ini bukan sekadar soal administrasi teknis. Ini adalah soal moralitas dan integritas. Bukti pertanggungjawaban yang tidak dilengkapi dokumentasi kegiatan, nota pembelian yang ditulis sendiri oleh staf, serta kegiatan makan minum yang tidak sesuai ketentuan hanyalah puncak gunung es dari lemahnya komitmen terhadap prinsip akuntabilitas.
Publik berhak marah. Uang rakyat bukan untuk memanjakan selera pegawai atau membiayai perjamuan rapat singkat yang dipoles seolah-olah penting. Uang rakyat adalah amanah, bukan santapan. Jika setiap celah seperti ini dibiarkan, bukan tidak mungkin anggaran daerah akan terus terkuras untuk kebutuhan konsumtif birokrasi yang tidak berdampak langsung bagi masyarakat.
Belanja makan minum yang semestinya ditujukan untuk rapat produktif, kegiatan lintas SKPD, atau jamuan resmi malah disulap menjadi “ladang kenyang” bagi oknum yang rakus. Di sisi lain, publik yang membayar pajak, retribusi, dan berbagai pungutan, tetap harus bersabar menunggu perbaikan jalan, layanan kesehatan, atau pendidikan yang memadai.
Celakanya, pengembalian sebagian kelebihan belanja sebesar Rp9,5 juta tidak serta-merta menghapus persoalan ini. Masih tersisa Rp270 juta yang belum dikembalikan, dan lebih besar lagi, masih tertanam mentalitas birokrasi yang lebih sibuk memikirkan kenyamanan pribadi ketimbang kepentingan publik.
Teguran keras dari BPK harus menjadi alarm peringatan, bukan sekadar catatan tahunan yang diabaikan. Kepala daerah, inspektorat, hingga aparat penegak hukum wajib turun tangan memastikan tidak hanya uang yang dikembalikan, tapi juga pelaku yang lalai atau bermain-main dengan anggaran diberikan sanksi tegas sesuai hukum.
Sudah cukup rakyat dibohongi dengan laporan kegiatan fiktif. Sudah cukup uang negara dijadikan bancakan terselubung. Jika birokrasi terus lapar akan integritas, maka yang kenyang hanyalah perut sendiri, sementara kepercayaan publik kian keropos.
Sudah saatnya Kabupaten 50 Kota tak hanya mengevaluasi laporan keuangan, tapi juga membersihkan mentalitas birokrasi yang rakus. Rakyat menunggu, bukan janji, tapi tindakan nyata. (YURNALDI)