ALINIANEWS.COM — Kunjungan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka ke Padang, pasca perusakan rumah doa Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI), bukan sekadar kunjungan resmi kenegaraan. Ia hadir sebagai representasi negara yang mengayomi seluruh warganya—terutama yang rentan dan menjadi korban intoleransi.
Tragedi di Padang Sarai bukan hanya soal izin bangunan yang dipersoalkan sekelompok warga. Ini adalah sinyal bahwa akar intoleransi masih tumbuh di ruang-ruang sosial kita. Ketika rumah ibadah—yang juga menjadi ruang pendidikan anak-anak—dirusak, maka bukan hanya bangunan yang hancur, tetapi juga nilai-nilai kebangsaan kita ikut diguncang.
Gibran memilih untuk tidak tinggal di Jakarta dan beretorika. Ia datang, menyapa anak-anak korban, memberi bingkisan, dan menghadirkan tim trauma healing. Dalam kunjungan singkat itu, negara seakan berkata: “Kalian tidak sendiri. Kalian adalah bagian dari bangsa ini.”
Kehadiran Wapres yang dilanjutkan dengan pertemuan bersama Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) menunjukkan upaya nyata untuk mencegah polarisasi, menegakkan hukum, dan merawat tenun kebinekaan. Negara tidak boleh tunduk pada tekanan mayoritas atau diam ketika minoritas terintimidasi.
Namun, simbol saja tidak cukup. Perlu keberanian untuk mengevaluasi sistem perizinan rumah ibadah yang diskriminatif, menindak pelaku kekerasan tanpa pandang bulu, serta mengintegrasikan pendidikan toleransi secara lebih serius dalam kurikulum dan ruang publik.
Peristiwa di Padang harus menjadi pelajaran nasional: bahwa Indonesia bukan hanya rumah bagi mayoritas, tetapi juga perlindungan bagi yang sedikit jumlahnya. Dan negara harus selalu hadir lebih dulu—sebelum luka menjadi dendam dan trauma berubah menjadi kebencian. (YURNALDI)