spot_img
spot_img

EDITORIAL: Ketika Nagara (Berusaha) Membunuh Ruh Reformasi 1998

ALINIANEWS.COM — Media daring alinianews.com menurunkan berita yang menarik dan diyakini bakal memantik debat serius, karena yang dipertaruhkan bukan sekadar urusan teknis pemerintahan, tetapi ruh reformasi 1998 yang melahirkan otonomi daerah.

Keputusan pemerintah pusat, seperti diungkapkan Ditjen PUOD Kemendagri Akmal Malik, menarik kembali sejumlah kewenangan dari daerah mulai 2026 adalah alarm keras bagi masa depan otonomi daerah. Meski dikemas sebagai “koreksi” atas kegagalan pemda meningkatkan kemandirian, langkah ini berpotensi dibaca publik sebagai kemunduran demokrasi dan gejala sentralisasi kekuasaan.

Tak bisa dipungkiri, data memang pahit: lebih dari 90% kabupaten/kota masih bergantung pada transfer pusat, hanya 40 dari 518 daerah yang benar-benar mandiri. Pendapatan Asli Daerah (PAD) tak kunjung naik signifikan, dan banyak kepala daerah gagal memanfaatkan dana pusat untuk membangun basis ekonomi lokal. Kritik ini sah, bahkan perlu.

Iklan

Namun, membebankan seluruh kesalahan pada daerah adalah narasi yang timpang. Pusat juga ikut andil menciptakan ketergantungan itu. Undang-Undang Cipta Kerja, UU Pertambangan, dan omnibus law lain semakin memusatkan pengelolaan sumber daya strategis di tangan pemerintah pusat. Ruang fiskal daerah dipersempit, sementara kewajiban membiayai urusan publik tetap besar. Di sisi lain, setiap APBD selalu dievaluasi dan disahkan pusat — artinya kontrol pusat sejak awal sangat kuat.

Jika semua kewenangan vital diambilalih, lalu daerah dibiarkan sekadar menjadi “pelaksana teknis” program pusat, maka makna otonomi tinggal nama. Ini bukan sekadar soal efisiensi birokrasi, tapi soal kepercayaan politik. Mengikis kewenangan daerah tanpa memperbaiki struktur pendapatan adalah resep konflik pusat-daerah.

BACA JUGA  BGN Kerahkan 5.000 Chef Profesional ke Dapur MBG untuk Latih Petugas SPPG se-Indonesia

Otonomi lahir bukan hanya untuk mengejar kemandirian fiskal, tetapi juga untuk memastikan rakyat di daerah punya hak menentukan nasib sendiri sesuai karakter lokal. Mengoreksi penyalahgunaan kewenangan adalah wajib, tetapi membatalkan semangat otonomi adalah pengkhianatan terhadap reformasi.

Pemerintah pusat harus arif: jangan biarkan publik melihat langkah ini sebagai anti-otonomi atau upaya sentralisasi kekuasaan. Solusi sejati adalah membangun kemitraan sejajar pusat-daerah, memperkuat kapasitas fiskal lokal, memberi ruang inovasi, dan menegakkan akuntabilitas — bukan sekadar menarik kembali kewenangan.

Jika tidak, kita akan menyaksikan bukan hanya akhir otonomi daerah, tetapi juga retaknya kepercayaan rakyat kepada negara. (YURNALDI)

 

spot_img

Latest news

- Advertisement -spot_img

Berita Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses