ALINIANEWS.COM — Kebijakan Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara yang melarang pemberian tantiem dan insentif kinerja kepada dewan komisaris BUMN menuai gelombang kritik, salah satunya dari Komisaris Utama PT Pertamina Hulu Energi, Denny JA. Kritik Denny bukan sekadar suara individu, melainkan sinyal penting dari dalam rumah BUMN sendiri bahwa kebijakan ini berisiko besar jika tidak disesuaikan dengan realitas sistem tata kelola korporasi di Indonesia.
Perdebatan ini bermula dari niat baik: menciptakan tata kelola BUMN yang akuntabel dan berorientasi pada kepentingan publik, dengan merujuk pada praktik terbaik global. Namun, sebagaimana disampaikan Denny JA, mengadopsi standar luar tanpa memahami struktur dalam justru bisa menjadi blunder kebijakan. Dalam istilah yang gamblang: kita tak bisa memaksakan model arsitektur asing tanpa memahami tanah dan adat tempat rumah itu dibangun.
Indonesia menganut sistem two tier board, yang memisahkan jelas peran eksekutif (direksi) dan pengawas (komisaris). Dalam konteks ini, para komisaris bukanlah pelengkap pasif, melainkan pihak yang aktif terlibat dalam audit, manajemen risiko, pengawasan investasi, hingga transformasi digital dan ESG (Environmental, Social, and Governance). Mereka memikul risiko hukum dan reputasi setara direksi.
Meniadakan insentif berbasis kinerja bagi komisaris justru bisa melemahkan sistem pengawasan itu sendiri. Tanpa insentif profesional, jabatan komisaris akan kehilangan daya tarik bagi figur berkualitas dan justru dikuasai oleh mereka yang tak lagi relevan atau hanya mengejar jabatan. Ironisnya, tujuan untuk menciptakan tata kelola yang lebih sehat bisa berubah menjadi jebakan seleksi negatif.
Kritik Denny juga menyentuh titik paling sensitif dalam pengawasan BUMN: diamnya pengawas. Dalam sistem korporasi, suara diam komisaris bisa lebih berbahaya daripada kritik terbuka. Karena ketika pengawasan tak lagi disertai insentif yang sepadan, yang muncul bukan integritas, melainkan apatisme.
Di sinilah pentingnya perumusan kebijakan berbasis ekosistem, bukan euforia benchmarking. Tidak semua praktik internasional cocok diterapkan begitu saja. Konteks lokal, struktur hukum, serta realitas operasional mesti menjadi pertimbangan utama.
Editorial ini tidak menafikan niat mulia BPI Danantara untuk reformasi. Namun reformasi harus berbasis pada penguatan peran, bukan penghapusan insentif. Profesionalisme tak lahir dari moralitas semata, tetapi juga dari sistem yang adil dan setara.
Jika kita ingin BUMN menjadi pemain global, kita harus menata dari dalam — dengan cara kita sendiri. Mengubah arah tanpa membaca peta lokal hanya akan membuat kapal besar bernama BUMN kehilangan nahkoda pengawasan. (YURNALDI)