spot_img
spot_img

EDITORIAL: Intoleransi dan Diamnya Negara

ALINIANEWS.COM — Peristiwa pembubaran ibadah umat Kristen di Padang Sarai, Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang, Minggu 27 Juli 2025, menyisakan luka sekaligus pertanyaan besar: sampai kapan negara akan diam terhadap tindakan intoleran?

Jemaat Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI) Anugrah Padang tengah beribadah ketika sekelompok orang datang dan membubarkan kegiatan secara paksa. Kursi dibanting, kaca jendela pecah, bahkan anak-anak yang hadir untuk sekolah informal ikut menyaksikan kekerasan itu.

Dalih yang digunakan: tempat ibadah itu tidak berizin. Tapi benarkah itu persoalan utama?

Iklan

Bagi kelompok minoritas di Sumatera Barat, perizinan rumah ibadah adalah jalan terjal. Syarat 90 KTP dan 60 tanda tangan warga sebagaimana diatur dalam SKB 2 Menteri 2006, seringkali menjadi penghalang utama. Padahal konstitusi kita jelas menjamin kemerdekaan setiap warga untuk beribadah menurut keyakinan masing-masing (Pasal 29 UUD 1945). Di sinilah letak paradoks kita: hukum tertulis menjamin, tetapi praktiknya mengekang.

Yang menyedihkan, negara sering bersikap “netral”—tidak berpihak pada korban intoleransi, tidak pula menindak pelaku dengan tegas. Ini membuka ruang bagi aksi sepihak, bahkan kekerasan, atas nama moral mayoritas.

Sumbar dikenal sebagai daerah yang religius, adatnya kuat. Tapi apakah kita lupa bahwa nilai-nilai itu seharusnya merangkul, bukan menyingkirkan?

Setara Institute menyebut kasus ini bagian dari intoleransi sistemik. PGI (Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia) menyebutnya sebagai “racun yang menggerogoti keutuhan bangsa.” Pernyataan ini tegas dan harus menjadi pengingat bagi kita semua.

BACA JUGA  KPK: 57% Pegawai Masih Lihat Pejabat Salahgunakan Anggaran Kantor untuk Kepentingan Pribadi

Pemerintah daerah, aparat penegak hukum, dan tokoh masyarakat harus hadir. Jangan sampai kita dikenal sebagai daerah yang keras pada yang berbeda, tapi lunak terhadap pelaku intoleransi.

Apa yang dibutuhkan?
Pertama, penegakan hukum yang adil dan cepat. Kedua, revisi atau minimal evaluasi serius terhadap regulasi pendirian rumah ibadah. Ketiga, pendidikan toleransi di sekolah, masjid, gereja, dan rumah gadang. Terakhir, peran tokoh adat dan ulama sangat penting untuk membangun narasi Islam dan adat Minangkabau yang ramah dan terbuka.

Kalau negara terus diam, jangan heran jika kepercayaan rakyat akan perlindungan hak beribadah makin tipis. Dan kalau itu terjadi, bukan hanya minoritas yang rugi, tapi kita semua—karena hidup dalam rasa takut dan saling curiga, bukan dalam semangat basamo.(YURNALDI)

spot_img

Latest news

- Advertisement -spot_img

Berita Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses