ALINIANEWS.COM — Peringatan dari BMKG tentang potensi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Jambi di tengah ancaman hujan ekstrem di wilayah lain Indonesia seharusnya menjadi alarm keras bagi seluruh pemangku kepentingan, baik pusat maupun daerah. Indonesia sedang menghadapi situasi cuaca yang kontras: di satu sisi ada kekeringan memicu bara, di sisi lain ada hujan deras membawa banjir dan longsor. Ini bukan sekadar cuaca ekstrem, ini ujian nyata kesiapsiagaan nasional.
Ironis, negeri tropis yang dikaruniai curah hujan melimpah justru kerap terbakar dan tenggelam dalam waktu bersamaan. Ini bukan semata-mata soal langit yang murka, tapi juga tentang lemahnya mitigasi, minimnya sinergi, dan lambannya respon pemerintah lokal maupun nasional. Bukankah seharusnya sistem peringatan dini dan koordinasi lintas sektor sudah matang setelah puluhan tahun bergelut dengan bencana iklim?
Sebagaimana dilaporkan BMKG, Jambi saat ini memasuki puncak musim kemarau dengan curah hujan sangat rendah, terutama di utara wilayah yang berbatasan dengan Riau. Ini zona merah karhutla klasik. Tetapi bersamaan dengan itu, hujan lebat juga mengguyur wilayah lain seperti Bogor, Riau, Bengkulu, hingga Kalimantan. Situasi ini menunjukkan bahwa iklim Indonesia tak bisa dipahami secara parsial, apalagi ditangani dengan pendekatan birokratis dan reaktif.
Kondisi atmosfer yang kompleks, mulai dari aktifnya Madden-Julian Oscillation, Gelombang Kelvin, Rossby Ekuator, hingga siklon tropis, seharusnya menjadi alasan kuat untuk menggerakkan respon cepat dan simultan dari pemerintah pusat dan daerah. Kita tak bisa menunggu bencana terjadi baru bertindak.
Dua hal mendesak harus dilakukan: Pertama, percepat koordinasi penanggulangan karhutla di wilayah rawan, terutama Sumatera bagian tengah dan Kalimantan. Petakan ulang titik panas secara harian, libatkan TNI/Polri secara aktif, dan maksimalkan peran masyarakat adat serta pemilik lahan. Jangan tunggu sampai langit gelap oleh asap dan anak-anak kembali sesak napas di sekolah.
Kedua, aktifkan sistem mitigasi banjir dan longsor di wilayah dengan curah hujan tinggi. Pemerintah daerah harus tegas menindak penebangan liar, alih fungsi lahan, dan tata ruang yang ugal-ugalan. Hujan bukan musuh jika air tahu ke mana harus mengalir.
Editorial ini juga menjadi ajakan kepada media dan masyarakat: mari kita kawal langkah pemerintah, bukan hanya saat bencana sudah terjadi. Iklim tak bisa dilobi, tapi bisa diantisipasi. Keselamatan publik hari ini, dan kelangsungan hidup anak cucu nanti, ditentukan oleh seberapa siap kita menghadapi kenyataan: Indonesia tak hanya rawan bencana tunggal, tapi kini menghadapi ancaman iklim ganda.(YURNALDI)