ALINIANEWS.COM — Aksi joget ceria sejumlah anggota DPR usai Sidang Tahunan MPR RI pada 15 Agustus 2025 seharusnya menjadi alarm keras, bukan sekadar tontonan viral. Dari ruang sidang yang mestinya dihormati sebagai simbol kedaulatan rakyat, para wakil rakyat justru menjelma “artis dadakan” yang lebih sibuk menghibur kamera ketimbang menjaga marwah parlemen.
Pernyataan Uya Kuya—“Kita DPR, tapi kita artis”—mungkin terdengar jenaka bagi dirinya. Tetapi bagi publik yang sedang bergelut dengan mahalnya harga beras, tarif listrik, hingga biaya pendidikan, kalimat itu justru menusuk. Ia menyiratkan bahwa kursi DPR bukan lagi panggung serius perumusan kebijakan, melainkan sekadar studio konten.
Budaya “ngonten” yang dijadikan tameng semakin menelanjangi cara pikir dangkal sebagian anggota DPR. Alih-alih membuktikan diri sebagai negarawan, mereka sibuk menampilkan citra personal untuk panen klik, views, dan popularitas. Gedung DPR, yang dibiayai rakyat dengan anggaran triliunan rupiah, direduksi menjadi set panggung hiburan.
Padahal, setiap bulan para anggota DPR sudah menerima penghasilan luar biasa besar: gaji pokok, tunjangan rumah, transportasi, komunikasi, reses, hingga honor rapat—total yang bisa mencapai lebih dari seratus juta rupiah per orang per bulan. Dengan fasilitas selengkap itu, publik tentu berhak menuntut keseriusan, etika, dan empati yang tinggi dari wakilnya. Joget massal dengan alasan “sekadar hiburan” jelas mengkhianati kepercayaan rakyat.
Dalih bahwa aksi joget terjadi setelah acara resmi usai tidak bisa menghapus fakta: simbol kehormatan lembaga telah dipermainkan. Bayangkan bila sidang parlemen negara lain dijadikan arena berjoget massal—pasti akan menimbulkan kegaduhan politik nasional. Tapi di Indonesia, seolah semua bisa dipermaklumkan dengan satu alasan: “cuma konten.”
Inilah titik krisis representasi rakyat. Para wakil rakyat mulai kehilangan rasa malu. Mereka melupakan bahwa setiap gerak-gerik di ruang parlemen adalah representasi dari rakyat yang mereka wakili. Joget di tengah krisis bukan sekadar soal gaya, tetapi soal empati yang hilang.
Rakyat tentu tidak anti dengan hiburan. Tetapi ada tempat dan waktunya. Ketika panggung DPR berubah jadi arena goyang, yang rusak bukan hanya wibawa lembaga, tapi juga kepercayaan rakyat. Dan sekali kepercayaan itu hancur, sulit untuk dipulihkan.
Maka, editorial ini hendak mengingatkan: DPR adalah forum kebangsaan, bukan panggung joget. Wakil rakyat dibayar mahal bukan untuk menjadi bintang konten, tetapi untuk menjadi negarawan. Jika mereka lebih senang tampil sebagai artis, mungkin panggung hiburan memang lebih cocok ketimbang kursi parlemen. (YURNALDI)