ALINIANEWS.COM — Di tengah semangat nasionalisme ekonomi dan bangga buatan Indonesia, publik dikejutkan dengan ketimpangan mencolok dalam kerja sama dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat. Jika isi kerja sama seperti dalam dokumen yang beredar itu benar adanya, maka bangsa ini tampaknya tidak sedang berdaulat secara ekonomi, melainkan sedang menjadi pasar empuk yang dijual murah atas nama diplomasi dagang.
Amerika Serikat mendapat keuntungan luar biasa: ekspor 0% tarif, akses pasar total ke ekonomi Indonesia, dan bahkan “diwajibkan” Indonesia untuk membeli energi, pesawat, dan alat pertanian senilai ratusan triliun rupiah. Sementara Indonesia? Hanya mendapat penurunan tarif ekspor dari 32% menjadi 19%. Itupun tidak dihapus, hanya dipangkas. Perbandingan yang sangat mencolok—untung segunung untuk AS, upah seupil untuk Indonesia.
Lebih ironis lagi, saat produk-produk Amerika bebas pajak masuk ke Indonesia, rakyat kecil justru dikejar pajak 11% PPN hanya karena menjual makanan lewat marketplace. UMKM yang jadi tulang punggung ekonomi, yang tak pernah meminta subsidi raksasa seperti perusahaan asing, justru dipalak dengan sistematis.
Apa makna dari semua ini? Negara lebih takut pada tekanan asing ketimbang jeritan rakyat sendiri? Apa faedah kita punya kementerian perdagangan, kementerian BUMN, dan pejabat ekonomi jika hasil perundingan mereka seperti ini: menjual pasar domestik, mengorbankan industri lokal, dan memberi jalan tol untuk produk asing?
Kita tentu tidak anti-AS. Tapi kita juga tidak bisa menerima kalau kerja sama dilakukan tanpa rasa adil dan kehormatan. Bangsa ini bukan makelar. Pasar Indonesia bukan barang diskon.
Sudah saatnya kita berhenti menjadi pelayan ekonomi negara adidaya. Rakyat butuh pemimpin yang mampu berunding dengan kepala tegak, bukan menunduk demi pujian luar negeri. Jika terus begini, bukan hanya produk lokal yang mati, tapi harga diri bangsa ini ikut dikubur.(Yurnaldi, Pemred)