ALINIANEWS.COM — Keputusan Menteri Keuangan Sri Mulyani memangkas 15 jenis belanja Kementerian dan Lembaga (K/L) pada 2026 adalah langkah yang patut dicermati bukan hanya dari aspek teknis anggaran, tetapi juga sebagai sinyal arah baru kebijakan fiskal di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Langkah efisiensi ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 56 Tahun 2025, dan mencakup item yang sangat lazim dan jamak dalam birokrasi: dari alat tulis kantor, perjalanan dinas, hingga jasa konsultan dan infrastruktur. Daftar ini bukan hal sepele. Ia menyentuh jantung belanja operasional dan bahkan belanja strategis yang selama ini menjadi ruang gerak program dan fungsi instansi negara.
Namun, pertanyaan mengemuka: apakah penghematan ini karena semata kebutuhan efisiensi, atau karena tekanan berat terhadap kondisi keuangan negara?
Publik tahu, sebagian besar item yang ditiadakan merupakan titik rawan korupsi dan pemborosan. Perjalanan dinas yang kerap fiktif, seminar yang lebih banyak formalitas, honor kegiatan yang tidak produktif, hingga pengadaan jasa konsultan yang acap hanya jadi stempel legitimasi proyek. Dalam konteks ini, pemangkasan layak diapresiasi sebagai langkah bersih-bersih anggaran negara.
Akan tetapi, pemangkasan yang terlalu luas dan tidak selektif juga menyimpan risiko. Infrastruktur dan pelatihan, misalnya, adalah bagian dari investasi jangka panjang sumber daya dan pembangunan. Jika tidak dikelola dengan bijak, efisiensi bisa berubah menjadi pemangkasan kemampuan institusi negara untuk melayani publik secara optimal.
Lebih jauh lagi, kebijakan ini juga menunjukkan bahwa pemerintah sedang menghadapi dilema fiskal: antara kebutuhan membiayai program ambisius Presiden terpilih dan terbatasnya ruang fiskal akibat penerimaan pajak yang tak sebanding. Maka, Kementerian Keuangan terpaksa merapikan pos belanja agar bisa menutup lubang-lubang fiskal di masa depan.
Kita berharap, penghematan ini bukan sekadar formalitas anggaran, melainkan benar-benar berdampak pada peningkatan efektivitas dan akuntabilitas belanja negara. DPR sebagai mitra pengawasan juga harus memastikan bahwa efisiensi ini tidak dijadikan dalih untuk membungkam kegiatan kritis atau menutup-nutupi ketidakmampuan kementerian merencanakan anggaran secara tepat.
Lebih penting lagi, efisiensi bukan akhir, melainkan awal dari reformasi birokrasi yang lebih mendalam: tata kelola anggaran yang transparan, berbasis kinerja, dan berorientasi pada hasil, bukan sekadar laporan kegiatan.
Dengan demikian, publik tidak hanya melihat anggaran yang dipangkas, tetapi juga hasil kerja pemerintah yang meningkat. (YURNALDI)