ALINIANEWS.COM — Kebijakan tarif impor Amerika Serikat yang mencekik produk asal China ibarat memutar arah arus investasi global. Indonesia—tanpa banyak berkeringat—tiba-tiba menjadi primadona baru bagi investor China dan Hongkong. Lonjakan harga lahan industri, telepon pialang yang tak berhenti berdering, dan janji pasar domestik raksasa membuat negeri ini terasa seperti ketiban durian runtuh.
Namun, euforia ini jangan sampai membuat kita silau. Sejarah telah mengajarkan, investasi asing ibarat pedang bermata dua. Ia bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi, tapi juga bisa menjadikan kita sekadar pelabuhan transit, bukan rumah produksi yang kuat. Tanpa strategi yang jelas, kita berisiko hanya menjadi lokasi outsourcing murah—pabrik didirikan, keuntungan dibawa pulang, sementara kita hanya meninggalkan polusi dan gaji buruh yang pas-pasan.
Fenomena ini seharusnya jadi momentum emas untuk menata fondasi industri nasional. Pemerintah perlu memastikan tiga hal:
Pertama, alih teknologi dan keterampilan — Jangan hanya menerima pabrik jadi, tapi pastikan pekerja lokal mendapat pelatihan, teknologinya dipindahkan, dan rantai pasok domestik diperkuat.
Kedua, pengendalian harga lahan industri — Lonjakan harga hingga 25% sudah jadi sinyal risiko bubble. Tanpa kontrol, investor lokal dan UMKM akan tersingkir.
Ketiga, seleksi ketat jenis industri — Jangan menerima investasi yang hanya memanfaatkan tarif rendah tapi merusak lingkungan atau minim nilai tambah.
Investasi asing harus menguntungkan rakyat Indonesia, bukan sekadar menguntungkan para pemilik modal dari negeri asal. Jangan sampai kita hanya menjadi “pelarian pajak dan tarif” bagi negara lain, sementara kita sendiri gagal memetik nilai tambah jangka panjang.
Durian runtuh memang manis, tapi kalau kita tak hati-hati, durinya bisa melukai. (YURNALDI)