ALINIANEWS.COM — Pemerintah dengan penuh kebanggaan mengumumkan anggaran pendidikan fantastis sebesar Rp757,8 triliun untuk tahun 2026. Sekilas, angka itu membuat kita terperangah dan seolah membanggakan: inilah bukti negara menaruh perhatian serius pada masa depan generasi bangsa. Namun, setelah dicermati lebih dalam, terkuaklah sebuah ironi besar: hampir separuh dari dana itu—Rp335 triliun atau 44,2 persen—ternyata dialokasikan bukan untuk membenahi pendidikan, melainkan untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Inilah distorsi makna “anggaran pendidikan” yang berbahaya. Amanat konstitusi jelas menyebutkan 20 persen APBN dialokasikan untuk pendidikan, bukan untuk program karitatif yang tidak memiliki landasan hukum setara. Dengan cara ini, pemerintah seakan melakukan creative accounting: melaporkan bahwa kewajiban konstitusi telah dipenuhi, padahal substansinya melenceng jauh. Kita tidak bisa menutup mata, ini adalah bentuk penyelewengan terhadap semangat konstitusi.
Lebih ironis lagi, ketika kementerian teknis—Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah—hanya menerima “receh”, sekitar Rp33,5 triliun pada APBN 2025, pemerintah justru menggelontorkan ratusan triliun untuk MBG. Kontras ini mencolok: program pencitraan jangka pendek mengalahkan kebutuhan struktural jangka panjang.
Padahal, masalah pendidikan kita sangat mendasar. Kualitas guru yang tertinggal, gaji guru honorer yang memprihatinkan, fasilitas sekolah yang bobrok, serta ketimpangan akses pendidikan antara kota dan desa—semua itu menjerat sistem pendidikan kita dari waktu ke waktu. Persoalan inilah yang seharusnya menjadi fokus prioritas, bukan sekadar membagikan makanan gratis.
Mari kita jujur: program MBG memang manis di telinga rakyat dan populer secara politik. Tetapi jika dijalankan dengan mengorbankan alokasi pendidikan, maka ini bukan lagi sekadar salah prioritas, melainkan pengkhianatan terhadap hak dasar warga negara untuk mendapatkan pendidikan berkualitas.
Bahaya jangka panjangnya nyata. Anak-anak mungkin kenyang hari ini, tetapi jika kualitas pendidikan terus terpinggirkan, mereka akan tumbuh menjadi generasi yang tertinggal dalam persaingan global. Kita berisiko melahirkan generasi “kenyang sesaat, bodoh selamanya”.
Pemerintah seharusnya tahu: investasi terbesar bukan pada nasi bungkus, melainkan pada mutu guru, kurikulum, riset, dan fasilitas belajar. Itulah warisan yang sesungguhnya akan memerdekakan generasi mendatang.
Editorial ini perlu menjadi peringatan keras: jangan sekali-kali pemerintah mempermainkan amanat konstitusi dan memperdaya publik dengan angka-angka fantastis yang menipu. Pendidikan bukan soal pencitraan, tapi soal masa depan bangsa. (YURNALDI)