ALINIANEWS.COM — Alih-alih menunjukkan empati dan kepemimpinan yang solutif, Gubernur Riau Abdul Wahid justru memilih membela diri dengan retorika ketika sejumlah atlet PON mempertanyakan kejelasan bonus yang dijanjikan. Mereka tidak menuntut lebih dari apa yang pernah dijanjikan. Mereka hanya ingin apa yang menjadi hak mereka.
Namun, respon Wahid terasa seperti membandingkan apel dengan jeruk. Bantuan Rp 20 juta untuk seorang penari cilik dianggap wajar, bahkan dibela mati-matian dengan logika “nilai viral dan promosi”. Sementara para atlet yang mengharumkan nama daerah dengan prestasi nasional, justru harus menghadapi pengurangan bonus dari angka yang sudah ditetapkan dalam Peraturan Daerah (Perda).
Masalahnya bukan pada besar kecilnya nilai bantuan kepada anak penari, tapi pada keadilan dan kejelasan dalam menepati janji. Bonus atlet PON itu dijanjikan sejak 2024. Kini sudah pertengahan 2025, janji tersebut belum juga tuntas dipenuhi, lalu dibela dengan dalih “APBD sedang minus” dan “itu bukan janji saya”. Ini bukan sekadar soal hukum administrasi. Ini soal integritas dan penghargaan terhadap prestasi.
Gubernur boleh saja berdalih ia hanya mewarisi masalah dari Pj Gubernur sebelumnya. Tapi publik tidak butuh drama warisan. Publik ingin solusi. Para atlet ingin kepastian. Dan para pemimpin semestinya hadir untuk menyelesaikan, bukan berkilah.
Jika janji pemerintah daerah terhadap atlet berprestasi saja bisa diabaikan dengan mudah, maka jangan salahkan jika ke depan generasi muda Riau kehilangan semangat untuk berlaga. Mereka tidak butuh janji manis saat pulang bawa medali. Mereka butuh bukti bahwa kerja keras mereka dihargai, bukan dijadikan perbandingan dengan strategi viral.
Sudah saatnya Gubernur berhenti berlogika untuk membela ketimpangan. Tugas seorang pemimpin adalah menyelesaikan, bukan membandingkan.(Yurnaldi, Pemimpin Redaksi ALINIANEWS.COM)